Horornya Gaji Guru Honor
Kalau dulu aku hanya mendengar betapa horornya gaji guru honor, sekarang aku membuktikannya sendiri.
Aku menikah 25 Agustus. Selama dua pekan setelahnya, aku masih menganggur. Lamaran pekerjaan sudah aku layangkan ke sebuah sekolah sebulan sebelum resepsi pernikahan. Namun, belum ada panggilan. Panggilan itu datang di pertengahan bulan September. Setelah tes wawancara dan mikroteaching, aku dinyatakan diterima menjadi guru di sekolah itu.
Dua pekan mengajar, tibalah saatnya gajian.
"Pak Padil bisa ke kantor yayasan? Untuk mengambil gaji bulan ini."
Baru dua pekan mengajar, kebayang gaji yang akan diterima. Mungkin belum seberapa. Tapi penasaran juga berapa gaji yang akan aku dapatkan.
"Baik, Pak Bendahara. Setelah mengajar saya ke kantor yayasan."
Saat amplop berada di tangan aku merasa heran. Kok terasa ringan dan tipis. Sekaligus penasaran kira-kira isinya berapa.
Belum sampai di rumah aku buka amplop gaji itu. Dengan perlahan membuka lipatan amplop. Detik berikutnya aku terpana. Isinya satu lembar Rp. 50.000. Ya, hanya ada satu lembar. Tidak ada lembaran lainnya. Inilah gajiku pertama sebagai guru SMA swasta.
Aku langsung bingung. Antara sedih atau kecewa. Eh, tapi kalau kecewa sama siapa ya? Toh, menjadi guru adalah profesi pilihanku, kan?
Sempat terlintas untuk bekerja di bidang yang lain. Realistis saja sih. Sebab aku seorang kepala rumah tangga yang harus menghidupi istri. Saat itu memang belum punya anak. Tapi ke depannya aku juga punya anak yang harus dinafkahi.
Apakah cukup dengan gaji sebagai guru honor? Sementara, kebutuhan-kebutuhan di masa mendatang semakin mahal.
Duh segini amat nasib guru honor di Indonesia. Padahal mereka punya tugas yang luar biasa dalam mendidik generasi muda. Tanggung jawabnya besar, tapi penghargaannya kecil.
Bukan berita langka kalau guru honorer Indonesia dibayar kecil. Bahkan sangat kecil. Nominal gaji guru honor sangatlah horor. Ada juga yang dibayar tiga bulan sekali. Ibaratnya bekerja selama dua bulan tidak digaji. Padahal guru punya jasa mencetak presiden dan menteri.
Masih dilanda kebingungan, aku pulang karena hari sudah sore. Istri membukakan pintu ketika mendengar suara motor yang menandakan aku datang.
"Sudah pulang, Mas? Mau dibikinkan minum? Mau minum apa?"
Seperti itu penyambutan istriku. Wanita yang belum genap sebulan jadi pasangan hidupku. Bertahun-tahun kemudian penyambutan itu tetap sama.
"Alhamdulillah, sudah. Pengen teh hangat saja, Dek. Hangat, ya. Jangan panas. Ntar lama bisa diminumnya."
Rumah masih sepi. Hanya kami berdua tinggal di sana. Kami memang tinggal berpisah dari orang tua.
Teh ku seruput dengan nikmat. Tak ada suara 'akh...' seperti minum kopi. Ku keluarkan amplop dari saku celana. Dengan perlahan ku letakkan di depan istri.
"Ini gaji Mas setelah setengah bulan mengajar, Dek."
"Wah sudah gajian aja. Berapa gajiannya Mas?"
"Coba dibuka, Dek."
Istriku langsung tertawa ketika sudah melihat isi amplop. Aneh, bukannya sedih, tapi malah ngakak.
"Bagaimana ini ya. Kalau gajinya segini mana cukup untuk kebutuhan keluarga kita ya?"
"Ini kan baru gaji pertama, gaji awalan, nanti pasti naik kan?"
Sebagai seorang laki-laki, naluri hitung-hitunganku berjalan.
"Iya sih, tapi nggak tahu naiknya berapa. Kalaupun naiknya nggak seberapa, apa masih cukup untuk keluarga? Belum lagi kalau kita sudah punya anak, tentu pengeluaran bertambah juga."
"Yang sabar aja dulu ya Mas. Dijalani dulu. Mudah-mudahan besok gaji Mas lebih manusiawi."
Beruntung aku punya istri yang sabar dan nerimo. Sesaat hatiku tentram, meskipun ke depannya masih tetap saja risau.
Dengan nominal gaji pertama yang horor itu aku tidak bisa membuat kenangan tentang gaji pertama. Biasanya orang membelikan benda supaya ada yang cemantel atau ada kenangan.
Malamnya istriku mengajak ke pasar pagi untuk beli sayuran. Pasar ini mulai beroperasinya di pagi hari tetapi di malam hari ada yang sudah buka. Kebanyakan pedagang menunggu dagangannya sejak malam. Mereka mengkapling tempat agar tidak diambil pedagang lainnya. Begitulah kerja keras mereka dalam mencari nafkah untuk keluarganya.
Untungnya malam itu aku diajak belanja sayur. Aku disadarkan bahwa mencari nafkah memang pekerjaan yang berat. Walaupun gaji tidak seberapa, aku masih mendingan karena kerja di tempat yang nyaman. Sementara, pedagang sayur itu mereka sampai bermalam di udara terbuka yang terkena angin atau cuaca dingin.
Dengan gaji pertamaku tadi istri hanya bisa memberi beberapa sayuran. Di rumah juga tidak ada kulkas untuk menyimpan sayuran sehingga kalau kebanyakan khawatir kering atau busuk.
Sekarang gajiku sebagai guru sudah meningkat signifikan. Kesejahteraan guru semakin hari semakin diperhatikan. Mudah-mudahan kenaikan ini membuat guru semangat untuk mendidik generasi muda pemilik masa depan.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.
Post a Comment for "Horornya Gaji Guru Honor"
Kata Pengunjung: