Dia Kartini Pandemi. Jauh dari Keluarga, Dekat dengan Risiko
Dia teman SMA saya. Inisial IR. Sekolah setinggi-tingginya menjadi impiannya sejak dulu. Maka, selepas S1 kedokteran di sebuah sekolah swasta, dia pun melanjutkan mengambil magister di Jakarta. Meninggalkan kampung halamannya di pulau Andalas sana.
Bukan hanya meninggalkan kampung halaman saja, tapi juga meninggalkan keluarganya. Yang paling berat? Meninggalkan anak yang masih kecil. Masih lucu-lucunya.
Menurut saya itu yang paling berat. Saya pun begitu, meninggalkan anak lebih berat ketimbang meninggalkan orangtua. Salahkah? Entahlah.
Ditambah lagi, IR ini diperbantukan di rumah sakit yang menjadi rujukan pasien Covid-19. Entah sudah berapa lama. Mungkin sudah enam bulan.
Di Jakarta dia ngontrak. Padahal baru saat itu pula dia ke ibukota. Dia buta Jakarta, tapi cepat belajar. Amunisinya nol.
Kebutuhan pun banyak dilengkapi di Jakarta. Mulai dari laptop, printer, motor, dan lainnya. Itulah kebutuhannya. Untuk kuliahnya.
Dia banyak tanya sama saya. Di mana beli ini itu. Beberapa saya jawab. Lainnya saya juga tidak tahu. Saya bilang jangan ragu sering tanya. Dia tangguh. Seorang diri berjuang di tengah kerasnya kota Jakarta.
Apakah dia tegar sekali? Tidak juga. Beberapa kali dia curhat dengan istri saya sembari sesenggukan. Kangen rumah, kangen anak, dan beratnya kuliah.
Dalam kondisi normal saja luar biasa. Apatah lagi saat pandemi. Di tempat biasa saja harus waspada Covid-19, apalagi di rumah sakit tempat rujukan pasien Covid-19. Bahaya lebih besar mengancam.
Tapi saya yakin amalnya juga lebih besar. Menghadapi bahanya besar, pahala pun besar. Semoga dia dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Menjadi garda terdepan melawan Covid-19.
#April21WritingChallenge
#inspirasikartini
#kurikulumngumpet
Ternyata banyak sekali pribadi tangguh. Malu jika kita terlalu mengeluh.
ReplyDeletehehe, iya Pak D. Banyak belajar dari banyak orang.
Delete