Saya dan Pengalaman Buku
Beruntung keluarga punya satu persepsi sama bahwa ilmu sangat penting untuk kehidupan. Ilmu memang mahal sehingga untuk mendapatkannya kita harus mengeluarkan biaya.
Saya pembaca buku semua genre. Meskipun, ada satu genre yang sangat saya hindari yaitu genre thriller. Ngeri saja. Meskipun saya sudah sedemikian dewasa atau tua hehe... Saya tetap merasa takut dengan buku semacam ini. Padahal, saya bukan orang penakut dengan hantu, setan, atau lainnya.
Semacam mengamankan otak dari pengaruh buruk yang bisa ditimbulkan dari konsumsi cerita serem, lah. Kadang saya mikir, cerita serem seperti ini bisa mengumpulkan sensitivitas kemanusiaan saya. Meskipun, dalam kehidupan nyata, cerita yang ada di buku tersebut ada. Banyak, malah.
Buku Paling Sering Dibaca
Di awal kuliah, saya jaga toko buku Islam. Maka buku-buku di sana banyak memberikan pengaruh pada pandangan-pandangan saya selanjutnya. Saya pun dipaksa mengunyah buku-buku bertema Islami.
Banyak buku yang saya baca. Beberapa buku yang dietalase sudah tidak bersampul; kesempatan saya untuk baca.
Buku yang paling banyak saya baca berjudul Beginilah Jalan Dakwah Mengajari Kami. Penulisnya M. Lili Nur Aulia. Buku ini sebetulnya kumpulan esai beliau yang terserah di majalah Tarbawi. Tentang ruhiyah. Saya sangat menikmati membacanya. Lembut dan penuh perenungan. Membacanya sering membuat saya termangu dan terharu.
Banyak atau bahkan semua yang ditulisnya pas banget dengan yang saya alami atau amati. Sehingga kesannya kos pas banget gitu ya.
Buku itu tidak langsung saya habiskan. Meskipun kayaknya bisa saja habis dalam sehari dua hari. Namun saya tak mau cepat-cepat mengkhatamkannya. Saya endap-endapkan benar di otak.
Besok-besok, saya buka lagi buku itu, walaupun sudah khatam juga. Jika saya merasa sedang lemah iman, buku itu kembali saya baca. Sedikit demi sedikit, menguat lagi semangat dalam hidup.
Tak dinyana, saya bertemu dengan penulisnya. Wow. Padahal baca bukunya di Padang, eh ketemunya di Banten. Sekitar empat atau lima tahun setelahnya. Tentu, saya tidak sedang bawa atau ada di rumah bukunya.
Mengoleksi Buku
Di tahun 2016, saya semakin aktif mengumpulkan buku. Baik dengan cara membeli atau bisa mendapatkan dengan cuma-cuma.
Caranya?
Pertama, saya aktif menulis resensi. Lantas mengirimkan ke koran. Beberapa penerbit akan memberikan reward buku atas pemuatan resensi.
Sayang sekali saya tidak bisa menginventarisasi buku apa saja yang ada di perpustakaan keluarga kami. Insha Allah di rawat. Rapi. Dibelikan rak buku besar pula. Namun untuk merekapnya, saya kurang rajin. Alhasil, tiga tahun berburu buku belum juga punya sistem pencatatan yang rapi.
Selain di rumah, buku saya berserak di sekolah. Ada di meja dan/atau rak buku. Sebab kadang saya mau baca di sela-sela mengajar. Sayang jika jam kosong atau sedang tidak mengajar tidak dimanfaatkan. Selain itu, jika sudah baca buku di rumah, jadi penasaran dan keringat terus. Pengen segera menamatkan. Akhirnya buku itu saya bawa.
Sementara, untuk koleksi buku, kami juga punya program. Satu bulan satu buku, masing-masing saya dan isteri. Jadi, dalam satu bulan ada dua buku baru yang dibeli.
Sayangnya, kami melanggar. Terutama isteri. Bukan satu buku satu bulan, tapi bisa lima buku satu bulan.
Ada komunitas ibu-ibu, beli buku
Di kampus, ada teman dosen punya buku, beli
Ada buku tentang parenting, beli buku
Makanya penyumbang buku dari hasil beli adalah istri. Tapi nggak papa. Saya malah suka. Senang aja karena buku makin numpuk. Ilmu pun semakin banyak pilihan. Tinggal cari dan ambil saja.
Jangan pelit untuk beli buku. Kalaupun bukan saat ini dibaca, nanti juga akan ada waktu untuk membacanya. Tumpuk saja, susun saja buku di rak kita. Kalau bukan kita, bisa jadi anak atau keluarga kita yang membacanya.
Saya pembaca buku semua genre. Meskipun, ada satu genre yang sangat saya hindari yaitu genre thriller. Ngeri saja. Meskipun saya sudah sedemikian dewasa atau tua hehe... Saya tetap merasa takut dengan buku semacam ini. Padahal, saya bukan orang penakut dengan hantu, setan, atau lainnya.
Semacam mengamankan otak dari pengaruh buruk yang bisa ditimbulkan dari konsumsi cerita serem, lah. Kadang saya mikir, cerita serem seperti ini bisa mengumpulkan sensitivitas kemanusiaan saya. Meskipun, dalam kehidupan nyata, cerita yang ada di buku tersebut ada. Banyak, malah.
Buku Paling Sering Dibaca
Di awal kuliah, saya jaga toko buku Islam. Maka buku-buku di sana banyak memberikan pengaruh pada pandangan-pandangan saya selanjutnya. Saya pun dipaksa mengunyah buku-buku bertema Islami.
Banyak buku yang saya baca. Beberapa buku yang dietalase sudah tidak bersampul; kesempatan saya untuk baca.
Buku yang paling banyak saya baca berjudul Beginilah Jalan Dakwah Mengajari Kami. Penulisnya M. Lili Nur Aulia. Buku ini sebetulnya kumpulan esai beliau yang terserah di majalah Tarbawi. Tentang ruhiyah. Saya sangat menikmati membacanya. Lembut dan penuh perenungan. Membacanya sering membuat saya termangu dan terharu.
Banyak atau bahkan semua yang ditulisnya pas banget dengan yang saya alami atau amati. Sehingga kesannya kos pas banget gitu ya.
Buku itu tidak langsung saya habiskan. Meskipun kayaknya bisa saja habis dalam sehari dua hari. Namun saya tak mau cepat-cepat mengkhatamkannya. Saya endap-endapkan benar di otak.
Besok-besok, saya buka lagi buku itu, walaupun sudah khatam juga. Jika saya merasa sedang lemah iman, buku itu kembali saya baca. Sedikit demi sedikit, menguat lagi semangat dalam hidup.
Tak dinyana, saya bertemu dengan penulisnya. Wow. Padahal baca bukunya di Padang, eh ketemunya di Banten. Sekitar empat atau lima tahun setelahnya. Tentu, saya tidak sedang bawa atau ada di rumah bukunya.
Mengoleksi Buku
Di tahun 2016, saya semakin aktif mengumpulkan buku. Baik dengan cara membeli atau bisa mendapatkan dengan cuma-cuma.
Caranya?
Pertama, saya aktif menulis resensi. Lantas mengirimkan ke koran. Beberapa penerbit akan memberikan reward buku atas pemuatan resensi.
Sayang sekali saya tidak bisa menginventarisasi buku apa saja yang ada di perpustakaan keluarga kami. Insha Allah di rawat. Rapi. Dibelikan rak buku besar pula. Namun untuk merekapnya, saya kurang rajin. Alhasil, tiga tahun berburu buku belum juga punya sistem pencatatan yang rapi.
Selain di rumah, buku saya berserak di sekolah. Ada di meja dan/atau rak buku. Sebab kadang saya mau baca di sela-sela mengajar. Sayang jika jam kosong atau sedang tidak mengajar tidak dimanfaatkan. Selain itu, jika sudah baca buku di rumah, jadi penasaran dan keringat terus. Pengen segera menamatkan. Akhirnya buku itu saya bawa.
Sementara, untuk koleksi buku, kami juga punya program. Satu bulan satu buku, masing-masing saya dan isteri. Jadi, dalam satu bulan ada dua buku baru yang dibeli.
Sayangnya, kami melanggar. Terutama isteri. Bukan satu buku satu bulan, tapi bisa lima buku satu bulan.
Ada komunitas ibu-ibu, beli buku
Di kampus, ada teman dosen punya buku, beli
Ada buku tentang parenting, beli buku
Makanya penyumbang buku dari hasil beli adalah istri. Tapi nggak papa. Saya malah suka. Senang aja karena buku makin numpuk. Ilmu pun semakin banyak pilihan. Tinggal cari dan ambil saja.
Jangan pelit untuk beli buku. Kalaupun bukan saat ini dibaca, nanti juga akan ada waktu untuk membacanya. Tumpuk saja, susun saja buku di rak kita. Kalau bukan kita, bisa jadi anak atau keluarga kita yang membacanya.
Post a Comment for "Saya dan Pengalaman Buku"
Kata Pengunjung: