Menebus Rindu
Meski diimbau untuk tidak menyeberang, Kasmin tetap saja nekad. Tidak ada penyeberangan umum, dia pilih sewa kapal feri milik satu keluarga yang biarpun memberikan tarif yang lebih mahal dari biasanya.
Wajar. Mengingat keamanan yang semakin terancam. Setelah tsunami Selat Sunda di penghujung Desember kemarin, pelabuhan mengimbau agar warga tidak mendekati laut dan pantai. Namun, Kasmin merasa tetap harus segera sampai di tanah Andalas.
Puasa ia di rantau orang, begitu pula lebaran. Orang asyik dan merasa perlu mudik, ia lebih memilih untuk mengambil jatah lembur. Jatah temannya dengan suka cita dia ambil.
“Maafkan aku, Mak. Kerjaan lagi ramai. Sayang kalau tidak diambil. Supaya tabungan semakin banyak,” jawabnya saat Mamak bertanya lebaran tahun itu pulang atau tidak. Karmin berikan jawaban yang sama seperti satu dan dua tahun yang lalu.
“Ya wis nek ngono, ati-ati di rantau sana. Kalau ada waktu pulanglah,” lirih Mamak menjawab.
Karmin bohong. Tiap lebaran dia tidak mengambil lembur. Perusahaan semen merah putih tempat ia bekerja meliburkan karyawannya di lebaran. Maka semua pekerja mudik, kecuali yang jauh seperti dari Kalimantan, Papua, atau luar negeri sana. Bahkan Jamil yang dari negeri Jiran Malaysia itu pulang. Atau Mohammed Irfan dari Pakistan pun turut merasakan mudik Idul Fitri.
“Yakin kau tak mudik, Kasmin?” Pak Burhan, teman se-asrama bertanya. Saat itu pak Burhan sedang berkemas. Hitungan beberapa jam ke depan mobil sewaannya akan mengantar ke stasiun Jakarta sana. Pak Burhan bertolak dari stasiun Pasar Senen menuju stasiun Kediri, Jawa Timur. Dia lebih memilih menggunakan kereta untuk perjalanannya. Katanya, lebih nyaman.
“Padahal sudah dua tahun kau tak pulang. Pulanglah. Keluarga menunggumu,” tambah pak Bur han, sambil tangannya memasukkan potongan baju ke koper.
Pak Burhan hanya bawa satu koper saja. Karmin belum juga menjawab. Diam mengamati layar televisi. Arus mudik selalu ramai. Setiap melihatnya, ada kerinduan yang menghentak-hentak. Bukan dia tak ingin pulang. Tapi ada sesuatu yang menahannya. Menahannya untuk belum juga pulang hingga tahun kelima.
Mamaknya mengabarkan, bahwa bapak tak lagi tinggal serumah. Alasannya membikin perih hatinya. Namun dia tahu tabiat bapak sejak dulu. Bencinya telah menebal. Kali ini dia membiarkan. Mungkin sudah suratan takdir. Mempertahankan rasanya lebih membuat Mamak makan hati.
Tak hendak pula dia ingin pulang barang sehari dua hari. Mungkin itu yang terbaik untuk keluarganya.
“Baik-baik di sana. Jaga kesehatan.”
“Iya, Mak”
“Jika ada libur, pulanglah. Sekali-kali kita ngumpul”
Ada nada bergetar pada kalimat terakhir Mamak. Rasa rindu ingin bertemu. Tapi Karmin takut. Takut pulang. Mungkin lebih tepatnya malu.
“Kau malu kenapa?” Tanya pak Burhan suatu waktu di tahun keempat dia tak pulang.
“Malu ditanya kerja apa sama orang kampung? Kau kan selalu sudah punya kerja.” Pak Burhan mengejar. “Atau malu belum nikah? Maka cepatlah kau menikah”
Ah, pak Burhan tak tahu. Dan jangan pernah tahu. Apa yang membuatnya malu untuk pulang. Dia tidak akan menceritakannya. Meskipun pada orang yang sudah menganggapnya keluarga sendiri.
“Kau harus memaksakan diri untuk pulang. Nunggu apa? Ongkos kau punya. Pabrik pun ngasih libur. Kau pun tidak ke mana-mana liburan di sini.”
Ada benarnya. Dua pekan libur dia tidak ke mana-mana. Meski tak mudik, dia pun tak selera ke tempat wisata atau jalan-jalan ke mana pun.
Seharian di asrama. Bersih-bersih di dalam rumah, merapikan file pekerjaan, atau mencabuti rumput di halaman. Dalam pada itu, waktu berjalan lambat. Biasanya asrama ramai, sekarang sepi. Tidak ada teman mengobrol, semakin sunyi.
Lalu suatu waktu di akhir pekan, pernah dia menyempatkan diri untuk ikut family gathering karyawan pabrik. Di situlah bermula alasan dia harus pulang. Di stasiun, tak sengaja dia bertemu dengan Iwan, orang sekampungnya. Saat itu Iwan pula yang duluan menyapa. Karmin biasanya tidak fokus di keramaian. Pikirannya mengembara kemana-mana.
Iwan bilang dia kerja di pabrik sepatu di kota industri itu. Belum lama. Belum genap satu bulan. Di kampung dulu, Iwan kerja serabutan, kadang tulang bangunan, kadang bertani, mengurus sawah orang. Iwan adalah teman semasa kecilnya. Rumah mereka pun berdekatan. Sudah seperti saudara sendiri.
“Kau sudah lama tak pulang. Kapan kau pulang?”
Jika selama ini ditanya pak Burhan, dia enggan menjawabnya. Tapi jika Iwan bertanya, dia tahu Iwan sudah tahu jawabannya. “Mamakmu selalu cerita ke mana-mana. Ke semua tetangga dia membanggakanmu. Malah, maaf, dia seperti kehilangan kesadaran dan akal sehatnya jika sudah cerita.”
Iwan lengkap dan detail menceritakan. Hingga sedih dan pilu hati Karmin mendengarnya. Tak tahan mendengar cerita itu, Kasmin meminta Iwan berhenti bercerita. Tak tahan ia terus mendengarkan.
Dua jam lebih keduanya bercerita. Pada akhirnya, Iwan memaksanya untuk pulang. Kali ini, tanpa dipaksa, Kasmin bulat untuk pulang.
***
Hanya Mamaknya kini yang dia punya. Tak ingin dia mengabaikan satu-satunya
yang dia punya. Mes kipun, ada Mbaknya, tapi sudah berkeluarga, dan berumah
jauh dari Mamak. Tak bisa berharap banyak.Selain itu, sudah waktunya pula dia berbakti pada Mamak. Dari cerita Iwan dia tahu Mamak begitu merindukannya. Berharap anak laki-lakinya kembali ke rumah setelah sekian lama merantau.
Dari Iwan pula, tak banyak yang Mamak inginkan. Tak gaji atau pun oleh-oleh. Juga pangkat atau kekayaan. Kedatangan. Yah, kedatangannya itulah yang sangat Mamak harapkan.
Tapi yang terpenting juga, kepulangannya adalah untuk menebus rindunya. Tak kepalang rindunya pada Mamak. Jangan sangka tak pulang itu tak rindu. Justru semakin jauh merantau semakin kuat pula rindu itu mendera. Itu mengapa orang merantau pada tempat-tempat dekat akan sering pulang karena tak terhalang rindu. Sepandai-pandainya bangau terbang tinggi, kembali juga ke sarangnya. Dan saat ini, Kasmin menjadi bangau itu.
Ada satu hal yang membuat Kasmin tak pulang setiap tahun. Rindu. Tak tahan terbayang wajah tua Mamak. Wajah tua dengan segenap kesedihan yang sering menderanya jika terus berada di kampung yang pasti penuh kenangan masa hidup.
Dia ingin pula membawa Mamak untuk tinggal bersamanya. Tapi belum mungkin. Dan tidak mungkin. Kampung itu terlalu banyak membuat dan menyimpan kenangan. Jika Kasmin ingin menghapus dan melupakan kenangan itu, Mamak lebih memilih merawat kenangan itu.
***
Itulah kekuatan rindu. Yang mengherankan dan menggerakkan. Pak Burhan
tersenyum lebar dan tergopoh-gopoh menyiapkan amplop. Menambahi sangu di
perjalanan.“Sampaikan salamku pada keluargamu di sana. Mudah-mudahan semua sehat.”
Malahan Pak Burhan menambahi pesan aneh, “Tak perlu cepat kembali ke sini. Puaskan berbakti pada orang tuamu. Pekerjaan gampang dicari. Di sana pun pasti banyak pekerjaan. Di mana pun pasti ada rezekinya.”
Kekuatan rindu itu pula yang membuatnya mengajukan pengunduran diri ke perusahaan. Mendadak. Pimpinannya pun kaget. Tapi menerima surat pengunduran itu. Berjanji akan mengurus pesangon. Diusahakan bisa. Pimpinannya merasa berhutang Budi karena kinerja Kasmin yang selalu membaik tiap mendapat tugas.
Pak Burhan pun tak diberitahu. Dia akan mengabari jika sudah di kampung kelak. Hanya satu yang dikhawatirkan, pak Burhan akan memberikan semakin sangu. Itu yang tak diinginkannya.
Sewa kapal yang lebih mahal dari biasanya tak menjadi soal. Asal segera menyeberang. Segera menginjak tanah Andalas. Kasmin yakin setelah berada di pelabuhan Bakauheni, perjalanan semakin mudah dengan berbagai alternatif kendaraan.
Perjalanan sekitar setengah jam. Kapal kemudian merapat di pelabuhan Bakauheni. Sesampainya di sana tak sulit mencari mobil sewaan. Bawaannya hanya satu tas saja mempermudah berjalannya. Semesta seperti sedang mendukungnya. Dia menemukan mobil yang hampir penuh. Tak menunggu lama, mobil bergerak membelah tol Lampung-Pekan Baru.
Beberapa jam lamanya perjalanan itu. Semakin dekat dengan kampungnya, semakin Kasmin menguatkan diri. Menebak-nebak apa yang hendak ditemui di rumahnya. Sedang apa Mamaknya. Adakah di rumah? Atau sedang ke rumah tetangga? Atau, ke ladang? Kasmin ingat benar dulu Mamak suka sekali ke ladang. Tapi entah sekarang. Dengan tenaga yang tak lagi kuat dan tubuh yang semakin merapuh dimakan usia tentunya jangan banyak lagi kerja-kerja berat yang dilakukan. Kotanya tak banyak berubah. Justru kampungnya yang banyak berubah.
Penampilan muda-mudi di sepanjang jalan mengatakan banyak televisi membawa pengaruh. Para pemudanya berambut warnawarni meski wajah pribumi tak bisa disembunyikan. Pemuda pemudi hingga anak-anak menenteng hp dalam kerumunan. Satu dua orang menyapanya di jalan. Beberapa menatapnya dengan antusias. Pikir mereka, si anak hilang telah kembali.
Saat semakin mendekat dengan rumahnya Kasmin mempercepat langkahnya, menata hatinya, dan meminta agar mendung di matanya tak berubah menjadi gerimis. Di pelataran rumah, terlihat Mamak sedang menajamkan cangkul kecil. Cangkul yang biasanya untuk menyiangi pokok tanaman atau sayuran.
Diasah setelah berkali-kali dipakai agar tajam lagi. Sedang fokus, Mamak tak melihat kedatangan Kasmin yang masih mematung. Bermenit-menit berlalu, Kasmin masih menjadi patung yang membatu namun bisa bernapas dan berhati. Dan hari itu, hatinya berbisik,
“Mak, aku pulang…” (*)
Cerpen ini dimuat di Singgalang 03 Februari 2019.
Post a Comment for "Menebus Rindu"
Kata Pengunjung: