Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Multatuli Run 10 K. Dari Runner Profesional, Runner Media Sosial, dan Saran


"Lari maraton itu berkompetisi dengan diri sendiri. Musuhnya adalah dirinya sendiri."



Akhirnya berkesempatan ikut lari maraton yang saban tahun diadakan oleh pemerintah daerah (Pemda) kabupaten Lebak. Pada perayaan ulang tahun yang ke-191 kabupaten Lebak, digelar Multatuli Run 10 K.

Mengambil tema yang menjadi jargon andalan bupati (Pemda) Bekerja dengan Hati, maraton kali ini pun bertema "Berlari dengan Hati".

Ada dua kategori yaitu pelajar (5K) dan umum (10K). Umum pun dibagi dua: umum nasional dan lokal (nggak ada interlokal ya). Total hadiahnya 160juta.

Bagi saya, ini adalah kali pertama ikut lomba maraton. Setelah enam tahun di Banten, atau selama 31 tahun ada di dunia ini.

Dengan rute sepanjang itu, tentulah membutuhkan kekuatan fisik yang mumpuni. Runner harus punya stamina yang prima. Beruntung, pekan sebelumnya saya mempersiapkan diri dengan latihan ringan joging di alun-alun dan main futsal selama hampir satu jam lamanya. Jadi, lari 10K ini pun tidak terlalu berat bagi saya. Awalnya. Hehe..

Tetap saja, meskipun sederhana, lari menghabiskan tenaga. Apalagi jika bukan runner profesional. Harus punya strategi yang jitu.

Terutama, jangan memaksakan diri. Maraton itu lari jarak jauh. Maka jangan diforsir. Saya pun begitu. Dapat sekitar 100 meter saya berjalan. Lari lagi. Jalan lagi. Dan seterusnya.

Persiapan saya kurang matang. Tidak mengantisipasi hal-hal yang diluar prediksi. Misalnya air minum. Memang, di beberapa titik disediakan minum. Namun ternyata pas saya sampai di setiap titik itu, sudah habis oleh yang sampai duluan.

Alhasil, sejauh 10K itu saya tak minum setetes pun. Tenggorokan kering, mulut pahit.

Dapat seperempat jalan, saya sudah sempoyongan. Saat sampai di setengah jalan, dari masjid pinggir jalan terdengar shalawatan, rasanya mistis gitu. Hehe...
Saat itu, banyak berdoa saja. Berharap kekuatan dari Yang Maha Kuasa. Terus berjalan, terus berdoa.

Beda Target

Dalam dunia persilatan, eh dunia perlarian, ada beberapa golongan Runner. Ada pelari profesional, ada pelari bukan profesional :) yang kadang disebut 
Pelari sosmed, Pelari Hore, atau pelari partisipan.

Dari segi tampilan, sudah kelihatan bedanya. Pelari profesional kostumnya layaknya atlet: celana pendek, baju ketat, dan sejenisnya.

Rara Runner profesional juga biasanya punya target sendiri. Mereka mengincar menang. Naik podium sebagai juara, 10 besar, atau mengharap hadiah yang disediakan panitia.

Sementara, pelari medsos tadi, biasanya targetnya finish aja sudah cukup. Atau tidak gagal di tengah jalan akibat engap, kram, atau kelelahan lainnya. Medali finisher yang dikalungkan menjadi kebanggaan dalam iven itu.

Bagi saya, sebagai pengalaman pertama, mencapai finish juga sebuah prestasi yang membanggakan. Motivasi saya, supaya badan sehat, punya pengalaman tentang maraton, dan semoga menjadi penyemangat anak-anak saya. Itu pula yang menjadi alasan saya untuk melakukan dan meraih banyak pengalaman.

Berbayar dan Gratis

Iven Maraton seperti ini ternyata banyak dicari, terutama oleh para Runner profesional dan tergabung dalam komunitas. Jauh-jauh akan dikejar. Bahkan jika itu berbayar sekalipun.

Seperti waktu saya ngobrol dengan Cikanderunner, mereka bahkan ikut Iven maraton yang diadakan di Jakarta, Bandung, dan Jogja. Selain menambah pengalaman, juga untuk meluaskan komunitas.

Bagi Runner medsos, untuk lari butuh teman atau komunitas sebagai penyemangat. Beda dengan Runner profesional yang mungkin tak butuh komunitas, cukup motivasi dari dirinya.
Jadi, jarak 10K kemarin, saya tempuh sekitar 1 jam 10 menit atau 70 menit.



Saran

Pelaksanaan maraton kemarin sangat bagus. Iven ini menjadi rutinitas, jadi panitia telah berpengalaman. Hanya, satu dua kejadian yang bisa menjadi evaluasi.
Pertama, minum yang disediakan oleh panitia kurang memadai. Banyak pelari lapis dua atau tiga sudah tidak kebagian air. Minimal disediakan air galon, agar Runner yang bawa tempat minum bisa mengisi ulang. Kemarin, di setengah jalan saja air sudah habis. Apatah lagi di sisa perjalanan selanjutnya.

Kedua, medali yang kurang. "Yang pelajar sudah habis ya. Yang pelajar sudah habis." Teriak panitia saat saya sampai di finish dan mencari medali untuk kategori umum.
Saya dapat. Tapi siswa saya di 5K banyak yang tidak dapat. Seberapa banyak? 2 siswa. Itu terhitung banyak, lho. Dalam matematika, lebih dari 1 itu bisa dikatakan banyak.

Saat saya melakukan pendinginan, satu panitia dikerubuti banyak pelajar. Satu dua yang kebagian medali. Panitia harus mengangkat tinggi-tinggi tangannya, sampai harus berjinjit, agar tangan-tangan siswa tak bisa menjangkaunya.

Entah panitia bikin berapa banyak medalinya. Sampai tidak cukup untuk semua peserta. Atau, peserta yang sangat membludak. Padahal, kan ada nomor dada. Jadi harusnya sejumlah itu pula medali dibuat.

Tapi mungkin itu tidak mengurangi kesuksesan pelaksanaan kegiatan. Saat lari, banyak sampah di jalanan pun langsung dengan sigap dibersihkan oleh panitia yang sepertinya melibatkan siswa dari sekolah-sekolah.

Usai lari, peserta disuguhkan dengan hiburan musik, bazar, makanan rakyat (gratis), dan berbagai kuliner lagi. Saya sendiri mencoba singkong rebus yang disediakan dinas pertanian.

Di tahun ini, Alhamdulillah tidak ada korban meninggal. Ada beberapa kali ambulan melintas, tapi hanya bawa Runner yang sakit ringan.

Semoga di tahun depan bisa ikut lagi. Jika di tahun ini ada sepuluh siswa saya yang ikut, semoga tahun depan bisa lebih banyak lagi. Aamiin.


Post a Comment for "Multatuli Run 10 K. Dari Runner Profesional, Runner Media Sosial, dan Saran"