Jangan Berhenti Untuk Percaya, Sebuah Hikmah dari Novel Tere Liye Si Anak Spesial
Siapa pula yang bisa menebak takdir. Bintang itu meredup dengan cepatnya. Ahmad, si ringkih yang hitam itu menyembunyikan sebuah keajaiban. Juga cerita kelam nasib keluarga. Di sekolah selalu menyendiri. Sekolah usia, dia segera pulang. Ada beban yang harus ditanggungnya. Membantingtulang hingga tak ada waktu untuk bermain seperti anak seusianya.
Potensi itu ditemukan secara tidak sengaja oleh Burlian. Ajakan bermain bola di suatu sore itu memupus kesan Ahmad selama ini. Dialah bintang lapangan. Bola dikakinya seakan lengket. Dialah Maradona kampung, yang juga menjadi idolanya. Di lapangan dia seakan menari. Sebentar saja, namanya melambung. Bintang lapangan kampung itu semakin melejit namanya di turnamen sepakbola antar kampung.
Setengah lusin gol disarangkan di pertandingan awal. Ahmad, si tonggos ringkih, yang terbiasa diolok-olok satu sekolahan itu, kini tak ada lagi yang memandangnya remeh. Tim mereka melaju ke final. Di suatu latihan itulah, sebuah bencana hadir. Dengan satu penyelamatan kecil, "Biar, biar aku saja yang ambil, Burlian", Ahmad yang ringan tangan membantu ibunya itu meminjamkan hidupnya untuk Burlian.
Final berlangsung sepi. Mereka kalah WO. Tak sanggup bertanding tanpa ada Ahmad.
Buku serial Mamak-Anak mengupas nilai-nilai kehidupan. Cerita ringan namun sarat makna. Makna yang saat ini semakin hilang ditelan zaman. Potret kehidupan yang terjadi di pulau Sumatera, dimana masyarakat hidup damai berdampingan dengan alam. Lalu satu persatu 'gangguan' kemajuan mulai menggerogoti nilai-nilai yang mengakar.
Masuknya aspal jalan yang menggantikan jalanan berbatu rusak, selain memberikan kemajuan untuk kampung, juga mengancam kebersamaan dan budaya gotong royong masyarakat kampung. Akses jalan yang lancar, memancing pemburu yang merusak kebijakan leluhur kampung. Bahkan, putri mandi pun mereka bunuh.
Begitu juga kehadiran SBSD.
Judi terselubung itu juga menghancurkan tatanan kehidupan desa. Orang-orang jadi pemalas, pemimpi, dan lebih parahnya mereka percaya pada orang gila hingga kuburan. Burlian pun terseret impian kosong para pemasang SDSB. Beruntung, Mamaknya menyelamatkan sesat jalannya.
Lagi-lagi, Tere Liye selalu mampu menghadirkan pendidikan lewat kesederhanaan kisah. Tentang pahitnya hidup yang harus dihadapi dengan optimisme. Munjib, siswa kelas 5 SD, kelas paling krusial dan menentukan, sempat berhenti sekolah. Pak Bin dan Burlian berusaha keras membujuknya. Mental. Lewat Burlian, Pak Bin menitipkan energi lewat petuah bijak, jangan berhenti untuk percaya.
Munjib berhenti karena paksaan ayahnya. Tas, buku, dan seragamnya dibakar. Saat pelajaran sedang berlangsung, Munjib datang sambil menangis, diikuti ayahnya. Berkat kebijakan orang-orang kampung, Munjib kembali dapat bersekolah.
Sudah dua puluh lima tahun Pak Bin menjadi guru. Berbagai generasi diajarnya. Semua anak dikampung pasti pernah diajarnya. Tak berhenti bermimpi siswanya menjadi sesuatu. Bukan hanya jadi petani, tukang sadap karet, penangkap ikan di sungai, atau pencari rotan.
Setiap hari Pak Bin masuk sekolah. Tapi nasib Pak Bin belum berubah. Berkali-kali mendaftar PNS selalu gagal. Bahkan Pak Bin kalah dengan guru honor baru yang sekali dua kali masuk mengajar itu. Pada titik keputusannya, Pak Bin berhenti mengajar. Sekolah ramai karena Pak Bin tak ada. Padahal, Pak Bin satu-satunya guru tersisa. Kali ini, Burlian dan Munjib yang mendatangi Pak Bin. Petuah bijaknya pun termakan padanya.
Selama pengabdian itu, Pak Bin, sebagai guru honorer tak mendapat bayar dari pemerintah, tapi dibayar dengan pisang, kelapa, atau beras oleh orang tua yang menitipkan anaknya. Bahkan ada siswa yang tidak membayar apapun. Kisah Pak Bin merupakan potret semangat mendidik anak bangsa, sekaligus buramnya pendidikan kita. Dimana dan kapanpun, potret seperti ini masih selalu terjadi. Meskipun saat ini pendidikan kita lebih baik, namun nasib guru honorer masih juga belum tersentuh. Nasibnya membuat terenyeuh.
Padahal pendidikan sangat menentukan maju atau tidaknya suatu bangsa. “Sekolah itu seperti menanam pohon, Burliah, Pukat” Bapak terseyum (hal 28). Bisa jadi hasil dari sekolah itu tidak langsung kentara. Kadang menunggu waktu yang lama. Namun buahnya akan terasa jika saat panen telah tiba.
Lewat motivasi positif Bapak dan Mamak, “Kau spesial, Burlian”, begitulah orangtua Burlian menumbuhkan percaya diri dan keyakinan. Menjadi pegangan penting dalam meraih cita-cita Burlian; keliling dunia dan sekolah dengan pustaka besar memuat banyak buku.
Post a Comment for "Jangan Berhenti Untuk Percaya, Sebuah Hikmah dari Novel Tere Liye Si Anak Spesial"
Kata Pengunjung: