Menggiatkan Literasi Untuk Kemajuan Kualitas Diri
Budaya literasi erat kaitannya dengan kualitas seseorang. Mari kita
tengok para founding fathers kita. Presiden Soekarno terkenal dengan
singa podium. Kemampuan berorasi depan publik yang dapat menggugah itu tidak
didapat begitu saja. Tulisan-tulisannya yang bernas dan berbahaya bagi
kolonialisme saat itu. Buah dari aktivitas literasi Soekarno misalnya buku
Indonesia Menggugat dan Mencapai Indonesia Merdeka. Tidak berbeda jauh dengan
Moh. Hatta. Beliau juga penyuka buku. Bahkan kerap ada celotehan bahwa isteri
pertama Moh. Hatta adalah buku. Sedangkan, Rahmi, adalah isterinya yang kedua.
Pada saat meminang, mas kawin yang diberikan oleh Moh. Hatta adalah buku
filsafat Alam Pikiran Yunani. Buku sebagai mas kawin sebagai anggapan bahwa
buku itu sangat berharga. Dari beliau kita kenal ungkapan yang sarat makna,
“Aku rela dipenjara di mana saja asalkan ada buku. Karena dengan buku aku
bebas”.
Dari dwi tunggal Republik Indonesia ini kita belajar bahwa menjadi
seorang pemimpin tidak mungkin ‘kosong’. Pada dirinya ada ‘isi’. Dan ‘isi’ itu
didapat dari kegiatan literasi. Lalu, bagaimanakah kondisi literasi bangsa kita
saat ini? Adakah hubungannya antara budaya literasi dengan kondisi bangsa kita
saat ini? Studi “Most Littered Nation in The World” yang dilakukan oleh Central
Connecticud State University pada Maret 2015 menempatkan Indonesia pada
urutan ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Sementara itu, kemampuan membaca siswa Indonesia berada di peringkat 66
dari 72 negara menurut hasil penilaian dari Program for Internasional
Student Assesment (PISA) pada tahun yang sama. Tidak jauh berbeda dengan riset yang
dilakukan oleh UNESCO yang melaporkan bahwa indeks minat
baca indonesia hanya 0,001 persen. Artinya dari 1.000 penduduk hanya 1 orang yang serius membaca. Data
dari survey BPS juga mencatat tingkat minat baca anak-anak Indonesia hanya
17,66 persen, sementara minat menonton mencapai 91,67 persen.
(https://www.republika.co.id/berita/membaca-kunci-sukses-generasi-muda)
Apa tanggapan kita terhadap penelitian ini? Asep Aldo, seorang
penggerak literasi dari Lebak yang khas dengan Kuda Pustaka, berseloroh bahwa dia
tidak setuju dengan penelitian ini. Sejauh pengalamannya mengunjungi pelosok
Banten, dia menemukan bahwa anak-anak di pelosok Banten itu antusias dengan
membaca. Buku-buku yang dibawanya laris manis menjadi rebutan anak-anak.
Penulis pun hendak mengamini pernyataan Asep. Namun kemudian menjadi ragu
tatkala penulis melihat fenomena yang terjadi pada orang-orang saat antre di
rumah sakit, atau saat berada di kereta api, duduk-duduk di tempat umum seperti
alung-alun, pasar, dan masjid. Kebanyakan dari mereka justru lebih asyik
memainkan gawai ketimbang membaca mengisi waktu. Meminjam istilah Muhamad
Syahril Romdhon yang menyebut mereka dengan “Generasi Menunduk”. Merekalah yang
pada banyak tempat dan situasi lebih sering membuka gawai dan mengecek sosial media.
Berkumpul namun sibuk dengan gawai masing-masing. Di tempat makan main gawai,
sambil berolahraga pun main gawai.
Membaca adalah Jalan Menjaga Kearifan
Perkembangan teknologi yang demikian pesat membawa tantangan yang
bisa dianggap remeh. Melimpahnya informasi kadang membuat kita menjadi seperti
bodoh. Dengan gampang kita meng-share berita-berita sampah yang beredar. Bahkan
tidak jarang dari berita-berita itu kita menebar caci dan fitnah. Padahal pada
beberapa kasus, fitnah bisa menyebabkan kerusakan yang tidak dipulihkan.
Cukuplah pemilihan presiden (Pilpres) 2014 menjadi pelajaran bagi kita. Saat
itu, fitnah dan kampanye hitam (black campaign) begitu gencar. Itu
dilakukan oleh kedua kubu pendukung calon presiden. Efeknya masih terasa hingga
sekarang ini. Sebutan ‘kecebong’ dan ‘kampret’ muncul pilpres 2014 namun
bertahan hingga pilpres 2019 yang akan datang.
Dengan membiasakan membaca, membuat kita lebih arif dalam mengelola
berita. Tidak mudah menyebarkan begitu saja berita yang didapat. Gunakan prinsip
‘saring sebelum sharing’. Ketika mendapat berita, kita akan membacanya dengan
saksama. Memeriksa apakah berita itu benar atau hoax. Bahkan, jika
berita itu benar namun sekiranya dapat menimbulkan kegaduhan, maka lebih baik
tangan kita menahannya untuk menyerbarluaskan berita tersebut. Hendaknya kita
bijaksana dalam bersosial media, sehingga kita terhindar dari
perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri. Tentu kita tidak mau
dikatakan sebagai tukang sebar hoax.
Akal kita membutuhkan nutrisi berupa bacaan yang bergizi, bukan
berita hoax. Namun sekarang ini susah dibedakan antara berita hoax atau
tidak. Sebab kadang berita hoax pun dibubuhi kalimat ‘bukan hoax’.
Seseorang yang terbiasa membudayakan literasi akan jeli membedakan mana yang
hoax atau bukan.
Pasti kelihatan beda orang yang terbiasa membaca dengan yang tidak
terbiasa membaca. Seseorang yang selalu mengedepankan literasi akan memiliki
sifat arif. Tutur katanya merupakan kalimat yang benar, tidak bohong, dan
berisi.
Namun, membudayakan membaca bukanlah pekerjaan mudah. Parameternya
adalah diri kita. Apakah kita sudah membudayakan membaca? Memiliki jadwal rutin
untuk membaca? Membaca adalah kebiasaan. Untuk membangun kebiasaan membaca,
tidak bisa dibangun dalam satu malam. Tapi perlu usaha keras yang terus
menerus. Dengan semangat pasang surut, pegiat literasi pastilah merasakan jatuh
bangun membangun budaya literasi. Sebab, jalan literasi adalah jalan sunyi.
Tidak semua orang mau berpeluh keringat di jalan itu.
Setidaknya ada dua langkah dalam upaya membangun budaya literasi.
Pertama, keteladanan. keteladanan lebih berarti daripada seribu kata-kata. Anak
akan suka membaca jika orang tuanya suka membaca. Masyarakat akan senang
membaca jika petingginya senang membaca pula. Kebaikan itu akan menularkan
kebaikan pula. Jadi, supaya rakyat memiliki budaya membaca, maka pejabat negara
harus terlebih dahulu memberikan keteladanan tentang membaca pula. Namun, jika
para pejabat negara tidak memiliki budaya membaca, maka jangan harap masyarakat
pada akar rumput (grass root) akan memiliki budaya baca itu.
Kedua, melalui gerakan. Saat ini sudah banyak gerakan-gerakan yang
membangun kebiasaan literasi baik itu membiasakan untuk membaca atau menulis
seperti Gerakan Indonesia Membaca (IM), Indonesia Menulis, Komunitas Menulis
Online (KMO), atau Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca. Menggeliatnya Taman Baca
Masyarakat atau Perpustakaan Daerah hingga perpustakaan keliling di berbagai
daerah menunjukkan gencarnya kesadaran menumbuhkan minat baca. Bahkan
pemerintah turut menunjukkan kepedulian terhadap literasi dengan menggalakkan
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) berupa alokasi 15 menit sebelum belajar untuk
kegiatan literasi. Selain itu, pada tanggal 17 setiap bulan Kantor Pos
Indonesia menggratiskan pengiriman buku. Fasilitas ini hendaknya digunakan
sebaik mungkin untuk meningkatkan aktivitas literasi.
Supaya membaca tidak sekadar membaca, ada beberapa langkah yang
bisa dilakukan. Pertama, membaca sesuai minat. Pada awalnya, sebaiknya baca
buku apapun sesuai yang diminati supaya membaca dilakukan dengan kesadaran dan
tanpa paksaan. Kedua, Biasakan membaca setiap hari meskipun hanya sebentar.
Jika sudah dibiasakan setiap hari, maka kebiasaan itu akan menjadi karakter
atau budaya kita. Ketiga, mencatat kalimat penting dari buku yang dibaca.
Usahakan mencatatnya dengan bahasa sendiri. Keempat, membuat rangkuman atau
review keseluruhan buku. Hal ini supaya agar yang kita baca dapat tersimpan
pada memori otak kita. Kelima, share. Bagikan apa yang sudah kita baca
supaya manfaatnya bisa tersebar lebih luas. Hal ini bermanfaat juga untuk
mempertajam ilmu kita.
Agus Misyadi, seorang tukan koran yang mampu membawa pulang Rp. 500
juta atau setengah miliar karena dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan pada
acara Who Want’s to be a Milioner. Kemampuan Agus Misyadi tidak lain karena dia
rajin membaca. Pengetahuannya luas. Wawasannya senantiasa bertambah dengan
membaca. Dia menjadi banyak tahu banyak hal dari membaca.
Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya Membuat Anak Gila Membaca
mengatakan bahwa hal yang lebih penting dari membangun kebiasaan membaca adalah
membangun kesadaran membaca. Hendaknya kita merasa bahwa membaca adalah suatu
keharusan. Dengan membaca, kita akan mendapatkan banyak ilmu yang dapat
menyelamatkan kita dalam menjalani hidup yang jika tidak pandai-pandai, dapat
menyimpangkan arah hidup kita.
Menulis Untuk Mewariskan Ilmu
“Jika kamu bukan anak bangsawan atau pejabat, maka menulislah” Imam
Al Ghazali. Pada tahap selanjutnya, kegiatan literasi sesudah kegiatan membaca
adalah menulis. Pada dasarnya, setiap orang bisa menulis. Menulis itu mudah. Namun
jika menulis diartikan sebagai kegiatan menghasilkan sebuah karya yang enak
dibaca, bermanfaat, dan berkualitas. Jamak orang yang mengatakan bahwa menulis
itu sulit. Pendapat ini tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar. Menulis
terbentuk dari kebiasaan. Tentu tidak serta merta kita menghasilkan tulisan
yang baik. Butuh latihan yang berulang-ulang sebagaimana penulis terkenal yang
‘berdarah-darah’ dalam proses menjadi seorang penulis.
Syarat awal menulis adalah membaca. Dengan membaca, seseorang akan mendapatkan
ide untuk membuat tulisan. Kata seorang penulis, membaca itu ibarat makan. Jika
kita makan terus menerus, maka kita bisa muntah. Demikian pula, jika kita terus
menerus membaca, maka kita akan ‘muntah’. Muntahan itu berupa tulisan.
Niatkanlah menulis untuk kebaikan, demikian kata Asma Nadia.
Seorang penulis yang telah melahirkan buku-buku best seller. Jika yang kita
niatkan kebaikan, tentu tidak masalah apakah tulisan itu masih jauh dari
sempurna dalam hal tanda baca, tata bahasa, atau gaya bahasa. Itu soal yang
kesekian. Hal yang paling utama adalah nilai kebaikan yang kita tuliskan itu.
Pramodya Ananta Toer mengatakan,
“Menulislah untuk keabadian”. Seperti kata pepatah, gajah mati
meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Maka, manusia mati
meninggalkan jejak berupa tulisan. Hidup sekali, jangan sampai kita ‘hilang’
tidak meninggalkan jejak setelah kematian kita.
Menulis tidaklah sulit jika terus membiasakan diri. Tendi Murti,
penggagas Komunitas Menulis Online (KMO) mengatakan lebih baik menulis banyak
tapi berkualitas daripada sedikit tapi tidak berkualitas. Tendi pun
menganjurkan agar setiap hari kita menulis sebagai latihan dan jam terbang.
Banyak orang bisa menjadi penulis handal karena terbiasa. Kemajuan teknologi
saat ini seharusnya mempemudah kita untuk belajar menulis. Kita bisa bergabung
dengan komunitas penulis seperti Komunitas Menulis Online, Indonesia Menulis,
dan lainnya.
Post a Comment for "Menggiatkan Literasi Untuk Kemajuan Kualitas Diri"
Kata Pengunjung: