Tragedi Kebohongan Intelektual
Dunia pendidikan kembali riuh karena kabar negatif.
Kali ini penyebabnya adalah kebohongan yang dilakukan oleh seorang ilmuwan.
Adalah Dwi Hartanto, sosok yang diharapkan
publik sebagai "the next Habibie" di bidang kedirgantaraannya dengan
banyak prestasinya adalah sebuah kebohongan.
Dari grafis Liputan 6, setidaknya ada beberapa kebohongan yang dilakukan
Dwi. Dwi mengaku menempuh S1 di Universitas Teknologi Tokyo, Jepang.
Sebenarnya, S1 ditempuh di Akademi Perindustrian Yogyakarta. Kabar menyebutkan
bahwa Dwi mendapat beasiswa S2 dari pemerintah Belanda, ternyata beasiswa itu
didapat dari Kementerian Komunikasi dan Informastika (Kemkominfo) Indonesia. Mengaku
pernah mendapat juara dalam lomba riset juga adalah bohong. Kenyataannya dia
tidak pernah menang lomba. Mengaku merancang pesawat jet tempur Generasi 6,
padahal faktanya tidak sedang merancang pesawat jet. Dwi juga dikabarkan
kandidat doktor di bidang Space Technology and Rocket Development padahal penelitiannya
di bidang Interactive Intellegence. Saat diundang dalam sebuah acara televisi
swasta, Dwi juga mengaku menjadi asisten profesor, nyatanya tidak. Klarifikasi
dilakukan sendiri oleh Dwi melalui media sosial.
Sederet kebohongannya itu disayangkan banyak pihak. Mengapa Dwi mau
melakukan kebohongan? Atas dasar harga diri. Supaya dibilang hebat, pintar, dan
berprestasi. Bermaksud mendapatkan keuntungan jika memiliki prestasi
sebanyak itu. Minimal diperhitungkan oleh Indonesia. Bisa saja dikemudian hari
mendapat panggilan untuk sebuah tawaran pekerjaan tertentu. Hal ini pernah
terjadi pada banyak ilmuwan Indonesia yang berprestasi diluar negeri kemudian
balik ke negeri sendiri. Sebut saja Archandra yang kini menjabat wakil menteri
ESDM. Dulunya, Archandra tinggal di Amerika. Berprestasi, cerdas, dan memiliki
banyak hak paten. Atas kecerdasan itu, Archandra dipanggil untuk diangkat
sebagai menteri ESDM. Sayangnya, Archandra memiliki paspor ganda atau sudah
diakui sebagai warga negara Amerika. Kewarganegaraannya pun menjadi masalah.
Jabatan menteri Archandra kemudian ditangguhkan. Hingga akhirnya Archandra
'hanya' menjabat sebagai wakil menteri.
Perbuatan Dwi tentu saja sebuah kesalahan yang
mencoreng nama baik Indonesia di mata dunia. KBRI Belanda kemudian mencopot
penghargaan yang pernah diberikan kepada Dwi.
Sebenarnya kebohongan dilakukan Dwi bukanlah hal yang baru. Banyak ilmuwan atau akademisi di Indonesia melakukan hal yang serupa, namun dalam bentuk yang berbeda. Modus paling sering adalah plagiasi.
Sebenarnya kebohongan dilakukan Dwi bukanlah hal yang baru. Banyak ilmuwan atau akademisi di Indonesia melakukan hal yang serupa, namun dalam bentuk yang berbeda. Modus paling sering adalah plagiasi.
Kebohongan intelektual
yang cukup mencolok salah satunya plagiarisme yang dilakukan oleh Anggito
Abimanyu, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM)
pada artikel yang terbit di Kompas 10 Februari 2014 dengan judul Gagasan
Asuransi Bencana yang diduga plagiat dari artikel di Kompas 21 Juli 2006. Meskipun
tidak seluruhnya copy paste, namun beberapa bagian cukup membuat geger ranah
pendidikan kala itu. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama
itu pun secara ksatria kemudian mundur sebagai dosen UGM.
Begitu juga yang
dilakukan oleh Afi Nihaya Fatadisa yang juga melakukan plagiarisme atas
tulisannya 'Agama Warisan' yang mencatut tulisan dari Mita Handayani. Tulisan-tulisan
Afi membuatnya tenar. Diundang bertemu langsung oleh presiden. Sosoknya diulas
oleh koran nasional. Pernah pula diundang diskusi dengan dosen-dosen UGM. Dielu-elukan
dan menuai sanjungan. Namun kemudian kekaguman pada sosok Afi pudar lantaran
ketahuan beberapa tulisan bukan asli buah pikirnya.
Di dunia akademis,
plagiat masih menjadi musuh yang menakutkan. Fenomena di atas hanya beberapa
saja yang terungkap. Ibarat fenomena gunung es. Puncak yang terlihat hanya
sedikit. Sementara, yang tidak tampak lebih banyak. Banyak pihak yang tidak
bisa menghindari dari palgiarisme ini. Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat
dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan
sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama
dirinya sendiri; jiplakan (KBBI online). Bisakah dikatakan plagiat, guru yang
mengambil Rencana Perencanaan Pembelajaran (RPP) dari internet secara utuh yang
kemudian hanya diganti nama sekolah dan nama guru? Wallahu ‘alam.
Ranah pendidikan kita
masih banyak menghadapi masalah, selain masalah plagiarisme ini. Salah satunya
adalah kasus ijazah palsu. Tidak kuliah, tapi punya ijazah. Kuliah belum
selesai, ijazah bisa didapat. Dengan membayar sejumlah uang, ijazah pun bisa
diberi nama. Tidak perlu repot lama-lama menempuh pendidikan. Kadang, modusnya
untuk kelengkapan mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Teranyar, kasus
ijazah palsu oleh anggota DPR kabupaten Serang sebagai syarat mencalonkan diri
sebagai anggota dewan pada 2014 lalu. Tiga tahun kemudian atau di tahun 2017,
baru kasus itu terungkap.
Begitulah jika ijazah
hanya dimaknai sebagai selembar kertas. Tidak ada tanggungjawab moral dalam
kepemilikannya. Bangga menyandang gelar sarjana, doktor, atau profesor tanpa
dibarengi kemampuan intelektual yang memadai. Ini pula yang menjadi watak
orang-orang Indonesia yang lebih senang dengan hal-hal yang instan, mudah, dan
tidak perlu bekerja keras dalam mencapainya. Padahal yang demikian pada
akhirnya tidak membawa kebaikan pada pelakunya.
Post a Comment for "Tragedi Kebohongan Intelektual"
Kata Pengunjung: