Cita-Cita
Ditanya tentang
cita-cita, adalah pengalaman yang hampir dirasakan setiap anak. Baik itu ketika
di sekolah, atau sewaktu msin dimana. Saya pernah pula ditanya cita-cita.
Seingat saja, cita-cita saya telah berganti sebanyak 3 kali.
Pertama, di kelas
3 sd, saya pengen jadi professor. Katanya, dia sosok yang pinter. Dahulu, orang
pintar dianggap istimewa. Bisa nemukan hukum/alat/ilmu yang bermanfaat untuk
orang banyak. Cita-cita ini mendukung saya untuk rajin belajar. Selama sekolah,
alhamdulillah rutin juara kelas. Kalo juara umum, ndak ngitungin.
Kedua, sewaktu
smp, cita-cita saya berubah, pengen jadi pemimpin. Pemimpin apa aja lah. Lurah,
bupati, gubernur tapi nggak presiden. Kesannya kok keren ya bisa ngatur-ngatur.
Tinggal perintah sini, perintah sana.
Ketiga, jadi
insinyur pertanian. Ini efek adanya pelajaran muatan lokal (mulok) di sekolah.
Kegiatan di mulok itu nanam kacang panjang, melinjo, jagung, ubi rambat, dan
lainnya. Dari sana kok ada semangat jadi petani yang ahli. Yang bisa menemukan
dan menumbuhkan tanaman istinewa. Misalnya lada dengan umur panen lebih cepat,
padi yang berbulir lebih banya, kelapa yang berbuah lebat dengan tinggi yang
tidak menjulang.
Namun, cita-cita
saya menguap entah kemana, dengan tanpa kompromi, kuliah saya mengambil jurusan
fisika. Kuliah yang dipenuhi turun menurun rumus yang memusingkan. Setelah
wisuda, saya malah jadi guru. Berkhianat pada ilmu fisika murni (non keguruan)
yang saya geluti selama 4 tahun 10 bulan.
_Tapi biarlah cita-cita itu masih ada
sampai sekarang. Biarlah saya jadi profesor yang menemukan jodoh terbaik
sebagai pendamping hidup kelak. Dari situ saya ingin tumbuhkan generasi hebat
yang bermanfaat bagi agama dan negara. Pun saya masih bisa memimpin perasaan,
kapan harus menyayanginya, kapan pula menggombalinya_ *Tsssaaaah*
Post a Comment for "Cita-Cita "
Kata Pengunjung: