Santun Merayakan Kemenangan
Dalam sebuah kompetisi menang atau kalah adalah hal
yang biasa. Kompetisi pada akhirnya memunculkan
pemenang. Tentu setiap kita selalu ingin menjadi pemenang. Tapi iIbarat dua sisi mata uang, menang dan kalah selalu ada. Saling
melengkapi. Tidak mungkin semuanya jadi pemenang. Pasti
ada pihak yang kalah. Maka penting sekali bagi siapa saja yang turut dalam
sebuah kompetisi untuk bersiap menerima kekalahan. Siap menang, siap kalah.
Jangan pula siap menang, tidak siap kalah. Harus legowo menerima kekalahan. Yang menang, jangan pula jemawa. Apalagi
sampai menghina dan merendahkan pihak yang kalah.
Alangkah bijak jika perayaan
kemenangan dilakukan dengan cara santun, tidak menyinggung pihak lawan, dan membahagiakan banyak orang. Perayaan
yang lepas kendali. Seperti kebanyakan yg terjadi pada perayaan kelulusan
dimana anak-anak mengadakan
konvoi kendaraan yang melanggar peraturan lalu lintas dan melupakan keselamatan
diri dan orang lain. Tidak pakai helm, bonceng tiga, ugal-ugalan, dan bercanda ditengah jalan. Pengguna
jalanterpaksa menyingkir. Juga terkena macet.
Sebuah inspirasi
dari negara tetangga, Malaysia, yang menyambut kemenangan kesebelasan Tim
Nasional Malaysia usai menjadi juara Piala
AFF Suzuki 2010 dengan menjadikan
sebagai hari libur nasional. Semua
orang bergembira. Meluapkan kebahagiaannya atas prestasi tim sepakbola
kesayangan. Rayakan kemenangan dengan cara yang menyenangkan
banyak orang. Traktir makan-makan misalnya. Memberi makan orang termasuk
sedekah. Bernilai pahala. Kenyang perut orang. Mereka pun bisa berhemat
pengeluaran.
Hemat saya, tidak
usahlah merayakan kemenangan dengan berlebihan. Mudah saja kita saling
berbalas. Saling ejek
lawan adalah hal lumrah. Ejekan berbalas hinaan. Bahkan balasannya lebih pedas.
Dan lebih menyakitkan.
Padahal kita masih satu bangsa. Negara kita sama. Besok-besok kita akan ketemu
lagi. Kerjasama lagi. Sebab membangun
negeri ini tidak cukup dengan satu orang atau satu golongan saja. Kolaborasi dan sinergi
antar elemen bangsa sebagai kunci keberhasilan dalam membangun bangsa ini.
Pilkada adalah salah satu rawan saling ejek atas
kekalahan lawan. Bahkan sebelum pesta demokrasi itu usai. Adanya qucik count
dapat memprediksi kemungkinan pihak mana yang akan keluar sebagai pemenang,
meski pun data KPU belum final. Uniknya, orang akan sepakat jika data lembaga quick count jika datanya sama dengan quick count internal, jika data hasil quick count menyatakan kemenangan berada
di pihaknya. Namun mengatakan akan menunggu data versi KPU jika data quick count menyatakan kemenangan di
pihak lawan.
Ada pula pendukung yang merayakan kemenangan atas
dukungannya dengan menggundul kepalanya. Cukur habis rambut. Padahal
perhitungan sura belum selesai. Alangkah lucunya, jika hasil akhir menyatakan
kemenangan untuk pihak sang lawan. Bisakah mengembalikan rambut yang sudah
tercukur? Banyak kejadiannya data quick
count tidak sejalan dengan real count.
Ambil contoh di pilpres tahun 2014. Pihak Prabowo bahkan sudah melakukan sujud
syukur atas kemenangannya, mengacu data quick
count internal yang menyatakan
kemenangannya. Namun kemudian hasil akhir menyatakan kemenangan berada di pihak
Jokowi yang kemudian menjadi presiden RI ke-7. Itu masih mending. Prabowo tidak harus melakukan pengorbanan apa pun yang
menyusahkan. Hanya tinggal menggelar konferensi pers. Sudah selesai. Cacat di
dalam diri mungkin ada. Malu. Tapi itu
tidak kelihatan. Tidak ada cacat fisik.
Mari belajar dari klahifah Umar bin Khattab
ketika pengangkatannya sebagai pemimpin umat muslim. Umar bin Khattab diangkat
menjadi khalifah atas desakan dari Abu Bakar (khalifah sebelumnya) dan para
sahabat karena menganggapnya paling pantas mengemban misi illahi. Umar bin
Khattab akhirnya bersedia menerima amanah itu. Kemudian setelah Abu Bakar
meninggal, Umar bin Khattab justru menangis. Teringat beratnya mengemban tugas
sebagai seorang pemimpin. Para sahabat bertanya, “Wahai Amirul Mukminin,
mengapa engkau menangis menerima amanah ini?” “Aku ini keras. Banyak orang yang
takut padaku. Kalau aku nanti salah, maka siapakah yang berani mengingatkanku?”
Lalu muncullah seorang Arab Badui dengan menghunus pedang seraya berkata, “Aku.
Akulah yang akan mengingatkanmu dengan pedang ini” katanya. Umar bin Khattab
pun mengucapkan terimakasih. Bersyukur karena masih ada orang yang mau dan berani
mengingatkannya jika melakukan kesalahan.
Menjadi pihak yang menang memang membanggakan. Namun
ekspresi kemenangan kita jangan sampai melukai orang lain. Seperti ungkapan
bijak, majulah tanpa menyingkirkan orang
lain. Naiklah tinggi tanpa menjatuhkan. Jadilah benar tanpa menyalahkan. Dan
berbahagialah tanpa menyakiti. Menanglah tanpa merendahkan orang lain.
Dan jangan lupakan adanya ‘campur tangan’ dari Yang Maha
Kuasa. Seperti selebrasi khas timnas U-19 yang merayakan gol dengan melakukan
sujud syukur. Melibatkan tuhan dalam selebrasi mereka. Sebab tidak ada satu pun
peristiwa yang terjadi tanpa ‘persetujuan’ dari Allah. Kita berdiri di atas
tanah yang sama, menghirup udara yang sama, dan di bawah langit yang sama.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Perselisihan hanya menguntungkan
musuh bangsa yang menghendaki keruntuhan negeri ini. Jauhi perselisihan yang
hanya menimbulkan keretakan. Kepentingan untuk bangsa harus didahulukan di atas
kepentingan invidu. Anak bangsa harus bersatu untuk membawa negeri ini kepada
takdir yang lebih baik.
Tulisan ini dimuat di Kabar Banten edisi 25 Februari 2017
Supadilah.
Guru di SMA Terpadu Al Qudwah, Kalanganyar, Lebak, Banten
Post a Comment for "Santun Merayakan Kemenangan"
Kata Pengunjung: