Jadi Guru Harus Sabar
Guru punya kisah yang luar biasa dalam mendidik siswa. Sebuah peristiwa yang tidak boleh dilewatkan oleh kita. Seorang guru honorer mengalami patah hidung akibat dipukul siswanya. Dialah guru Osi Wulandari, guru honorer di SMP N 3 Kerkap, Bengkulu Utara. Awalnya, siswa duduk di atas meja. Sang guru menegur. Berharap siswa mengerti dan memperbaiki kesalahan. Budi tak berbalas. Siswa tidak terima. Malah melawan. Menggunakan tangan kanannya untuk memukul guru di bagian muka. Tulang hidung guru Osi pun patah. Kejadian itu terjadi pada Jumat (22/7). Kasus ini pun masuk ke ranah hukum. Siswa tersebut akhirnya diamankan di kantor polisi.
Foto : Guru SMA Al Qudwah sedang simulasi menulis.
Luar
biasanya, guru Osi tidak mendendam. Dan itu memang tidak perlu. Tidak
berlama-lama dengan kesakitannya, guru Osi menjenguk siswa di penjara. Memafkan
dan membesarkan siswa. Terenyuh dengan tangis dan permintamaafan dari siswanya.
Siswa pun berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Kejadian
ini membuktikan sang guru yang berhati besar. Pemaaf kepada siswa. Betapa pun
hati dan jasad tersakiti oleh siswa, guru harus memiliki kesabaran yang luar
biasa untuk memaafkan kesalahan siswa. Betapa tingkah laku siswa semakin hari
semakin aneh-aneh. Globalisasi memberikan pengaruh besar dalam menyebarkan
perilaku-perilaku negatif yang juga melanda dunia pendidikan. Siswa semakin
‘kreatif’ dalam pelanggaran-pelanggaran. Semakin bermacam-macam tingkah
polahnya. Adegan kekerasan, pornoaksi, hedonisme, dan perilaku negatif lainnya
dengan gencar dan mudah disebar melalui media.
Media
telah memberi dampak buruk untuk generasi muda. Melanda semua kalangan. Kaya
atau miskin. Di kota megapolitan hingga di desa pinggiran. Media menginspirasi
keadaan generasi muda kita. Tidak terkecuali pada ranah pendidikan.
Guru
harus siap dengan kondisi itu. Itulah realita anak sekolah zaman sekarang.
Menjadi guru harus berbekal kesabaran yang berlapis-lapis. Butuh dada yang
lapang dan pikiran yang luas ketika meladeni siswa. Jadi guru itu harus sabar.
Sabar melihat kenakalan siswa. Sabar mengalami keusilan siswa. Ketika siswa
berbuat gaduh, melakukan kejahilan, bahkan melakukan kekerasan kepada guru. Kalau
tidak bisa sabar, jangan jadi guru.
Guru
juga manusia. Punya rasa marah dan kesal kepada orang lain termasuk siswa.
Memang tidak mudah untuk bersabar dan berlapang dada serta tidak mendendam. Membutuhkan
tenaga ekstra untuk memiliki sifat mulia itu. Tapi konsekwensinya, perbuatan-perbuatan
berat itu berbuah pahala dan surga.
Itulah
tantangannya jadi guru. Guru dituntut mengajar dengan maksimal walaupun fasilitas
yang serba terbatas. Lebih-lebih seorang guru honorer. Gaji digaji ‘murah’ tapi
harus bekerja keras mencerdaskan bangsa. Juga memperbaiki moralitas anak
bangsa.
Teladan dari Guru
Akan
tetapi, segala tingkah laku siswa itu bisa jadi karena melihat guru. Guru juga
harus mengintrospeksi diri. Mungkin siswa bercermin dari sang guru. Ada juga
guru yang perilakunya tidak mencerminkan keteladanan. Guru era modern sudah
berubah. Keteladanan semakin terkikis dari sosok seorang guru.
Di
sekolah guru bisa lalai dalam mengajar seperti sibuk dengan bisnis atau
kegiatan mencari uang. Orientasi guru mengajar untuk mendapatkan gaji.
Akibatnya muncul istilah guru bayar, yaitu guru yang hanya mau mengajar jika
dibayar. Dia tidak mau mengerjakan tambahan pekerjaan seorang guru jika tidak
ada kompensasi.
Banyak
siswa yang sering pamer foto mungkin terinspirasi dari para guru yang juga hobi
wefie atau selfie. Termasuk guru yang tidak fokus mengajar di dalam kelas
karena lebih sibuk dengan handphone-nya.
Pun begitu saat rapat, guru tidak fokus dengan bahasan karena jemarinya masih
aktif di atas gadget. Atau guru yang
tidak memiliki akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-harinya misal tidak
disiplin, makan gaji buta, malas, atau tidak patuh kepada atasan. Jika demikian
adanya tingkah laku guru, maka mengharapkan siswa yang berakhlak baik pun
adalah mustahil. Jauh panggang dari api.
Doa Sang Guru
Jangan
melupakan doa dalam pekerjaan guru. Doa juga dibutuhkan saat menghadapi siswa
yang beragam tingkahlakunya. Bisa jadi kegagalan guru dalam mendidik
dikarenakan terlalu percaya diri mengandalkan kemampuan diri sendiri. Guru
kurang berhasil dalam mendidik karena kurang do’a. Tidak melibatkan Allah yang
menggenggam jiwa mereka. Padahal do’a adalah senjata orang mukmin. Banyak yang
diluar kemampuan manusia bisa terjadi karena do’a.
Prestasi
siswa bisa ditingkatkan dengan do’a. Akhlak mulia siswa bisa terbentuk dengan
do’a. Sempatkan menyebut nama-nama siswa kita dalam doa. Atau mendoakan
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia secara umum. Doa itu menunjukkan
kepedulian kita.
Seperti
sebuah ilustrasi berikut. Di sebuah pesantren, seorang guru kewalahan
menghadapi kenakalan santri. Karena tidak tahan, sang guru melapor kepada kyai.
Pimpinan pesantren. Sang guru curhat kepada kyai yang mendengarkan dengan
seksama dan tenang. Ketika cerita sang guru selesai, kyai meminta sang guru
menuliskan nama-nama santri nakal. Sang guru sumringah. Dia yakin kyai akan
memanggil santri nakal untuk kemudian memberikan hukuman. Sang guru kemudian
pamit dengan hati yang semakin gembira.
Keesokan
harinya, sang guru heran. Karena dia tidak melihat tanda-tanda santri dipanggil
atau dihukum oleh kyai. Kemudian dia menghadap kyai untuk bertanya. ““Maaf Kiai, santri-santri kok
belum ada yang dihukum atau diusir?” Kyai malah menjawab,
“Lho siapa yang mau mengusir? Nama-nama santri itu saya minta untuk saya doakan
setelah shalat tahajud. Agar mereka tidak nakal lagi. Mereka dipondokkan karena
nakal. Harapannya, biar mereka tidak nakal lagi”.
Begitulah. Mungkin, kita lupa mendoakan siswa
yang nakal. Sehingga mereka tetap dengan kenalakannya. Bahkan, mungkin
permasalahan di negeri kita tidak kunjung selesai karena kita lupa untuk
berdo’a.
Post a Comment for "Jadi Guru Harus Sabar"
Kata Pengunjung: