Menghargai Proses
Tiga
orang pemuda mendatangi masjid. Padahal sebelumnya mereka sering berada di
pinggiran jalan atau nongkrong di pos ronda. Mengobrol atau main gitar
menghabiskan waktu. Kadang-kadang menggoda cewek-cewek yang lewat. Mungkin
mereka sudah bosan dengan rutinitas sebelumnya, atau ingin merasakan nuansa berbeda,
atau mereka beranjak ingin bertobat. Petang itu mereka melangkah mantap ke
masjid, ingin melaksanakan shalat magrib. Namanya anak muda yang baru hendak
tobat, mereka ke masjid dengan pakaian ala kadarnya. Memakai celana jeans dan
kaos. Tapi setidaknya sudah menutupi aurat.
Tapi
di masjid mereka mendapatkan sambutan yang tidak ramah dari jamaah. Terutama
para orangtua yang memandang mereka dengan tatapan aneh. Salah satunya
menyeletuk, “Itu mau ke masjid apa mau dolan
(main-pen)? ” ujarnya. Sebab terlalu
banyak pandangan yang menyudutkan, akhirnya mereka tidak jadi ikut shalat
magrib. Mereka keluar dari masjid dan kembali ke habibat sebelumnya untuk
kembali meneruskan rutinitas mereka yaitu nongkrong di pinggir jalan.
Begitulah.
Mungkin banyak orang yang menjadi jahat kembali karena tidak mendapat
kesempatan untuk menjadi baik. Andai saja orangtua di masjid itu mau bersabar
dan tidak berkomentar sinis kepada para anak muda itu, mungkin mereka jadi
shalat dan masih betah berada di masjid. Tidak menutup kemungkinan mereka akan
terus membenahi diri hingga menjadi sama dengan orangtua yang beribadah dengan
optimal. Seandainya para orang tua mau bersabar dengan proses yang dilakukan
anak muda, mungkin mereka masih sering ke masjid.
Begitulah.
Betapa kita sering tidak menghargai proses yang sudah dilakukan orang lain.
Bahwa menjadi baik memang butuh proses yang tidak mudah dan perjuangan yang
tidak ringan. Setidaknya hargailah iktikad (kemauan) untuk berubah.
Jika
kita tidak mampu memberi apresiasi, setidaknya kita tidak mencela. Toh bukan kita juga yang membawa mereka ke
arah kebaikan. Kita hanya perlu merespon dengan baik proses yang mereka
lakukan. Namanya anak muda. Belum bisa konsisten dan total beribadah layaknya orangtua
yang sudah lama makan asam garam kehidupan. Dan akhirnya yang kita dapatkan
atas ketidaksabaran kita adalah redupnya semangat yang sudah mulai menyala.
Mereka kembali ke jalan dan melakukan rutinatas yang tidak lebih baik.
Dalam
dunia kepenulisan bisa terjadi hal seperti ini. Tidak jarang penulis senior memandang
rendah sebuah karya yang dihasilkan penulis pemula. Padahal tidak ada namanya
penulis senior tanpa didahului menjadi penulis pemula. Penulis senior hendaknya
tidak meremehkan karya penulis pemula, toh
karya mereka waktu dulu juga tidak beda jauh.
Mari
meneladani Rasulullah SAW yang sangat menghargai sekecil apapun karya para
sahabat. Rasulullah SAW tidak serta merta mengharamkan khamar (miras).
Berangsur-angsur Rasulullah SAW mengajak para sahabatnya dan masyarakat
meninggalkan khamar. Awalnya Rasulullah SAW melarang minum khamar pada saat
akan melaksanakan shalat. Setelah itu berangsur-angsur Rasulullah SAW
mengharamkan khamar dalam kondisi apapun.
Memberikan
kesan positif kepada individu yang melakukan sebuah proses adalah lebih bijak.
Alangkah bijaksana jika kita memberikan apresiasi dan motivasi kepada mereka
yang sudah menghasilkan karya. Terbaik menurutnya, bukan menurut kita, meskipun
kita mampu menghasilkan karya yang lebih bagus darinya.
Bahwa
sebuah karya harus bagus dan berkualitas itu memang benar adanya. Tapi semua
ada prosesnya. Tidak serta merta sebuah pekerjaan menghasilkan karya luar
biasa. Apa jadinya dunia literasi kita jika diisi oleh kritik merendahkan dari
para penulis senior. Mungkin tidak ada lagi kaderisasi atau munculnya
penulis-penulis muda di ranah kepenulisan ini.
Orang
hebat tidak akan mengecilkan orang kecil. Justru dia akan membesarkan orang
kecil. Penulis yang hebat tidak akan memandang remeh penulis pemula. Penulis
karbitan-lah yang memandang remeh pada penulis pemula.
Supadilah. Guru di SMA
Terpadu Al Qudwah, Kalanganyar, Lebak.
Post a Comment for "Menghargai Proses "
Kata Pengunjung: