Merah Putih Belum Renta
Merah Putih Belum
Renta
oleh Supadilah
Gerimis
membesar, hujan semakin deras. Beberapa pengguna jalan kaki yang sudah sedia
payung segera membuka lipatan payungnya. Yang tidak membawa payung segera
menepi menghindari rintik yang kian menjadi. Aku semakin merapatkan tubuhku ke
dinding emperan toko, menghindari cipratan air hujan. Ku lihat orang-orang pun
melakukan hal demikian.
Tapi
kemudian, terlihat sesosok orang tua yang berlari menuju sebuah kantor yang
tepat berada di seberang tempat aku berteduh. Anehnya, justru ia lari dari
tempat teduh di emperan toko dimana aku juga berteduh. Artinya, sebenarnya dia
sudah dalam keadaan teduh.
Dan kini
orangtua itu malah berlari menuju kantor di seberang sana. Atau, mungkin dia
akan berteduh di kantor itu. Tapi ternyata tidak, dia tidak menuju menuju
tempat teduh di kantor itu, melainkan berhenti tepat dimana terpancang tonggak
tiang bendera. Dan kemudian, ditengah gerimis yang kian membesar ia turunkan bendera
yang masih tertambat dipucuk tiang sana. Tapi tak mudah membuka ikatan tali di
tiang bendera itu, mungkin ikatannya cukup kuat. Cukup lama dia berkutat
mencoba membuka ikatan itu tapi belum berhasil.
Air turun
menderas. Beberapa orang penasaran, melihat ke arahnya termasuk aku. Akhirnya,
terlihat ia berhasil membuka ikatan tali pengerek bendera. Tapi tubuhnya telah
basah kuyup. Belasan memandang ke arahnya dengan mimik heran. Sebab, ditengah
hujan yang menggila ia mau-maunya ia menurunkan. Toh, ia bukan penjaga
kantor itu. Dan kalau pun penjaga kantor, tak perlu rasanya bersusah payah
basah kuyup demi menurunkan bendera. Semua orang akan maklum jika ia tak sempat
menurunkan bendera sebab hujan.
Merah putih
kini berada dalam pelukannya. Kembali ia berlari menuju kantor itu, kemudian
diletakkannya bendera itu di meja satpam kantor. Kemudian dia berlari menuju
tempat dimana dia tadi teduh; tepat disebelah kanan ku.
Kebetulan.
Dia menghampiri ku. Kemudian aku panggil dia,
“Kek….kek…
kesini” tawarku.
Aku
memiringkan badan. Agar semakin ada
ruang lapang meski sedikit, agar ia
tertarik mendatangiku.
Padahal, aku
tak hanya sekedar menawarkan tempat
kepadanya. Keingintahuan ku tentang apa yang diperbuatnya, lebih besar.
“He…he…terimakasih
nak,”
Terkekeh dia
mendatangi tempat disamping ku. Kemudian tangannya sibuk menghapus air hujan
yang membasahi keningnya. Ku lihat dia kedinginan. Bajunya basah kuyup.
Aku tak mampu
menahan lama rasa penasaran ku.
“Kakek ini
siapa,?”
Ups,
kegugupan ku malah mendatangkan pertanyaan yang aneh.
“Maksud saya,
kek. Siapa nama Kakek? Terus, kenapa kakek mau-maunya hujan-hujanan untuk
menurunkan bendera?”
“O, itu yang
kamu tanya Nak…Aneh ya?” kali ini tangannya tak lagi sibuk mengusir sisa
butiran air hujan di wajahnya.
Ah, rupanya
kakek ini tak segera menjawab pertanyaan ku. Pertanyaan ku dijawan dengan
untaian kalimat yang keluar dari lisannya. Aku begitu seksama memperhatikan
setiap perkataannya.
“Orang zaman sekarang, sangat kurang rasa
cinta kepada negara. Kurang menghargai bangsanya, juga kepada benderanya. Hanya
sedikit yang memiliki kepedulian dengan merah putih. Padahal, dulu kami
bertaruh darah dan nyawa untuk bisa mengibarkannya”.
Ku lihat ada
gurat kekecewaan di wajahnya.
“Kami begitu
merindukan merah putih bisa berkibar ditiup angin di atas tanah miliknya
sendiri, di tanah Indonesia. Kami begitu mencintainya, melebihi cinta kami
kepada dri kami. Biarlah baju di badan basah peluh dan penuh kotoran, asal
jangan merah putih. Kami mau saja berpanas terik dan basah oleh hujan, asalkan
merah putih tidak.
“Anehnya
orang zaman sekarang, melihat merah putih akan basah kuyup, tak ada yang
berusaha meneduhkannya”.
“Padahal,
mereka belum tentu ikut andil membuat merah putih bisa dikibarkan. Sekarang
ini, tak susah payah mereka untuk bisa mengibarkan bendera. Hanya dituntut,
menjaga sang merah putih tidak juga mau”.
Muka ku
terasa panas padahal hujan masih mengguyur. Kalimat itu pas mengena dihatiku.
Kalimat itu memang cocoknya untuk ku.
“Kamu lihat
sendiri tadi, hujan turun dan semua orang sibuk meneduhkan dirinya, tapi tak
ada satu orang pun yang mau meneduhkan merah putih.
Aku tertohok
dengan kerasnya. Aku tak sanggup mengangkat muka ku.
“Waktu hujan
tadi, tak ada yang mau menurunkan merah putih. Agar ia tak kedinginan. Agar ia
tak basah kuyup”.
Meski suaranya tak terlalu keras, tapi
aku mendengarnya begitu jelas. Aku merasakan kemarahan pada nadanya. Ku lihat
ia berusaha keras menahan agar tak
terisak, padahal ku lihat ada yang menetes di sudut matanya.
“Maafkan kakek, Nak… Kakek terlalu
kecewa dengan orang-orang sekarang.
Tapi
aku mendengarnya kakek itu berbicara pada ku
”Kakek terlalu kecewa kepada mu,”
“Maafkan aku Kek…”
“Nak, tua begini cinta kakek kepada
negeri ini masih kuat. Sekuat cinta kakek waktu muda. Bukti cinta kakek kepada
negeri adalah….”
Kalimatnya menggantung, kemudian ia menyingkapkan
bajunya dibagian kanan. Pasti dia akan memperlihatkan semisal bekas tembakan, piker
ku. Aku semakin kagum kepadanya.
Ternyata, kakek itu mengeluarkan
sebuah bungkusan dari dalam plastik yang disimpannya disaku celananya. Bendera
merah putih berukuran kecil.
“Bendera ini selalu kakek simpan.
Sebab dengan membawanya, kakek selalu merasakan harus berbuat sesuatu untuk negara
ini”.
“Kau mungkin tidak percaya,
begini-begini kakek tahu juga lagu anak muda sekarang, tapi yang mengandung
semangat cinta kepada negeri. Cokelat itu punya “Bendera”-nya. Tipe-X dengan
Indonesia Sayang.
Mulutku membuat bulatan huruf O.
ternganga tak percaya.
“Yang sedang nge-tren ya Garuda di
Dada-ku, penyanyi Netral kan, Nak..”
Bulatan di mulut ku semakin membesar.
Tak ku sangka, kakek ini begitu nasionalis. Fenomenal juga nih orang, batin ku.
“Awalnya sih, kakek denger dari
orang-orang yang juga menyanyikannya. Asalkan ada cinta kepada negara , kakek
suka. Lama-lama kakek hafal dengan sendirinya”.
Ah, rupanya aku ‘kalah muda’ dengan
kakek ini. Bahkan nasionalisme ku tidak ada apa-apanya dibanding kakek ini.
Hujan mereda, matahari mencoba
meloloskan sinarnya diantara rintik yang turun. Saling mendahului, tercipta bias
pelangi jauh di sana.
Orang-orang yang tadi berteduh mulai
bertebaran, kembali lalu lalang meneruskan aktivitasnya. Aku pun bermaksud
demikian. Tapi aku masih termangu. Sebab kakek yang fenomenal ini telah sukses
menyindirku. Mengejek nasionalisme ku yang kian menipis di dada.
Ku lihat kakek itu berkemas.
Sepertinya mau melanjutkan aktivitasnya. Bendera kecil kembali diletakkan di saku
celananya.
“Nak, kakek duluan ya…masih ada yang
harus kakek kerjakan”
“Iya kek… eh kek terimakasih ya atas
perbincangan kita. Maaf kek, saya belum bisa seperti kakek..”
“Masih ada waktu Nak. Negeri kita
butuh orang yang cinta kepadanya. Dan yang penting adalah yang mau berkorban
untuknya” ucapnya bijak kepada ku.
“Ya kek, doakan agar aku bisa memiliki
perasaan itu..”
“Baiklah Nak, kakek do’a kan. sudah
ya, kakek duluan. Assalamu’alaikum…
“Wa’alaikumussalam…”
Pandangan kagum ku mengantarkan
kepergiannya. Dibalik punggungnya yang sudah mulai bungkuk ternyata masih
tersimpan dengan kuat rasa cinta kepada bangsa dan negara. Huh…kalau saja
banyak orang seperti kakek ini, negeri ini akan terurus dengan baik. Sore ini
aku diingatkan tentang nasionalisme yang penting untuk dimiliki. Begitu unik,
sebab dari seseorang yang berusia lanjutlah, pelajaran itu aku dapatkan. Dalam
hati aku berjanji untuk menguatkan rasa cinta kepada tanah air dengan kuat.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, dengan
kekesalan yang pasti, ku tepuk kepala ku yang lalai ini.
Eh,siapa nama kakek tadi ya… aduh,
lupa menanyakan tadi.
Ah, si kakek sudah tak nampak lagi.
Post a Comment for "Merah Putih Belum Renta"
Kata Pengunjung: