Menghormati Ulama
Hidup tentu banyak masalah, ujian dan
tantangan yang dirasakan individu maupun masyarakat. Tak jarang
menimbulkan goncangan dalam diri yang dapat berakibat pada kekacauan,
dan ketidakseimbangan.
Untuk semua kondisi itu, diperlukan pihak yang mampu solusi atas masalah kehidupan yang dialami umat. Solusinya, dengan keberadaan ulama. Dalam kehidupan beragama, posisi ulama sebagai pembimbing umat agar senantiasa menjalani hidup pada jalan yang lurus, penjaga nuansa religiusitas dan tempat umat menyelesaikan masalah-masalahnya.
Kata ulama bentuk jamak dari alim yang berarti orang berilmu. Secara bahasa, ulama orang berilmu dalam agama islam. Imam Al-ghazali dalam judul bukunya Ihya Ulumuddin, mengatakan ulama adalah orang yang menghidupkan ilmu-ilmu Islam.
Prediket ulama, tidak bisa hanya karena penampilan seseorang dari luarnya. Seseorang yang ke mana-mana terlihat memutar tasbih, berjenggot lebat, memakai jubah, atau jidatnya hitam, tidak bisa lantas dikatakan ulama. Atau seseorang dengan gelar sarjana agama, atau sebagai petinggi pada instansi atau lembaga keagamaan, juga belum bisa dikatakan ulama.
Siapakah yang termasuk ulama itu? Allah SWT berfirman dalam Alquran, “Sesungguhnya yang merasa takut terhadap Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” [Fathir: 28]
Jadi, yang dikatakan ulama, hanya orang yang takut kepada Allah, takut dengan larangan-Nya. Sebaliknya, jika dia tidak takut dengan larangan Allah, maka dia bukan ulama, meskipun gelar akademiknya sarjana agama, atau memiliki amanah diinstansi keagamaan.
Sebaliknya, meski tanpa gelar sarjana agama, amanah di instansi keagamaan, tidak pakai peci, asalkan dia takut kepada Allah dan terbebas dari melanggar rambu-rambu agama, dia bisa dikatakan ulama.
Di negeri kita, banyak kasus orang yang bekerja di lembaga keagamaan tapi berbuat korupsi. Misalnya korupsi dana pelaksanaan ibadah haji, korupsi pengadaan Alquran, atau pembangunan tempat ibadah.
Jadi, meskipun gelar akademisnya panjang, janggutnya lebat, selalu berkopiah, dan merupakan petinggi di lembaga agama, dia bukanlah ulama kalau melanggar larangan agama. Sekalipun dia menteri agama.
Banyak kita lihat di lingkungan, seseorang yang berkecimpung dalam ranah agama, namun maksiat tetap jalan terus. Misalnya dia khatib tetap di sebuah masjid, atau sering menjadi imam, tetapi dia menjalin hubungan gelap atau berbuat serong dengan wanita lain.
Keberadaan ulama dalam masyarakat sangat penting. Dengan kepahaman ilmu yang mereka miliki, mereka layak disebut sebagai pewaris para nabi. Allah memuliakan dan menghormati mereka dengan penghormatan khusus.
Sepantasnya kita menghormati mereka pula. Bagaimanakah cara menghormati ulama? Ada sebuah kisah yang terjadi di masa sahabat. Kisah ini dialami oleh Zaid bin Tsabit.
Beliau adalah rujukan utama bila ada yang ingin bertanya tentang Alquran. Di masa khalifah Abu Bakar Siddiq, Zaid menjadi ketua ke lompok yang bertugas menghimpun Alquran.
Di masa khalifah Ustman Bin Affan, beliau menjadi ketua tim penyusun mushaf Alquran. Suatu hari saat ia sedang mengendarai seekor hewan, beliau kesulitan mengendalikan hewan itu. Ibnu Abbas yang kebetulan melintas didepannya, membantu Zaid mengendalikan hewannya. Lalu Zaid berkata, “Biarkan saja hewan itu wahai anak paman rasulullah,” katanya.
Ibnu Abbas menjawab, “Beginilah kami diperintahkan oleh rasulullah menghormati ulama kami.” Lalu Zaid menjawab, “Kalau begitu berikan tanganmu padaku,” Ibnu Abbas memberikan tangannya, Zaid menciumnya dan berkata, “Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah SAW untuk menghormati keluarga nabi kami.”
Beberapa sikap dalam menghormati dan memuliakan para ulama adalah pertama menaati mereka dalam hal yang baik. Selama apa yang diucapkan mereka adalah kebaikan, maka kita harus menaatinya, tanpa memandang status dan pekerjaan sang ulama.
Ada sebuah kaedah yang mengatakan, jangan lihat siapa yang menyampaikan tetapi lihatlah apa yang disampaikan.
Kedua, mengembalikan urusan umat kepada mereka. Allah berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43).
Kadang ada di antara kita yang sok tahu, merasa lebih paham daripada sang ulama. Padahal jelas mereka lebih terjaga ilmunya dari kita. Sudah saatnya kita memercayakan penyelesaian masalah umat kepada mereka. Merekalah tempat bertanya bagi kita dalam masalah keagamaan. Ketiga, menjaga adab-adab kepada ulama. Beberapa sikap yang menunjukkan bahwa kita menghormati mereka adalah tidak berjalan di depan mereka, tidak duduk di tempat yang diduduki mereka, tidak memulai pembicaraan kecuali sudah diizinkan, dan memandang penuh perhatian kepadanya saat diberi arahan (tausiyah).
Dalam kitab talim mutaallim dicantumkan secara lebih luas bentuk-bentuk penghormatan kita kepada ulama, di antaranya tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru, tidak menanyainya dalam keadaan yang lelah atau bosan, memerhatikan waktu bertanya, tidak menyakiti hatinya karena itu dapat menyebabkan ilmu tidak berkah, dan lain sebagainya.(*)
Post a Comment for "Menghormati Ulama"
Kata Pengunjung: