Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mutiara penjual sambal

Dengan langkah kaki tergesa dan peluh bercucuran, aku memacu langkah dengan tergesa. Semakin cepat saat terlihat dari kejauhan rumah makan yang kutuju terlihat sepi. Hm, tak seperti biasanya. Padahal biasanya rumah makan atau kedai itu selalu ramai oleh pelanggannya. Kedai itu adalah kedai favorit mahasiswa. Tak henti-hentinya pelanggan datang untuk membeli sambal atau lauk pauk. Hampir tidak ada mahasiswa disini yang tidak kenal dengan kedai makan ini. Murah, mudah, dan ramah. Tiga kata yangmerupakan kebutuhan mahasiswa, didapat di rumah makan ini.
Kadang, bagi mahasiswa kualitas tidak penting. Justru kuantitas yang lebih dibutuhkan. Kenyang lebih diutamakan. Da anjun, nama pemilik kedai itu. Orangnya ramah, pandai mencari hati pelanggannya. Siapa saja yang sudah menjadi pelanggannya dan kemudian tidak lagi belanja disana, akan dibuat tidak enak hati. Dia memberi harga yang relatif murah daripada kedai lain. Sudahlah murah, banyak pula dikasihnya.
Da anjun asli orang simpang malintang, wilayah kecil di bawah kampus unand limau manis, padang. Umurnya sekitar empatpuluhan, sejak lahir sudah tinggal disana. Dekat dengan kampus yang banyak mahasiswa, membuat usaha kedainya maju dan berkembang. Dari hasil usahanya, da anjun dapat membeli rumah dan tanah lagi.
da, ikan laut ciek da,”  aku sebutkan pesananku pada da anjun yang terlihat sedang menggiling cabe dengan blender.
yo, sabanta dih. Tanggung…” jawabnya dengan tanpa melepas tangan dari blender, tapi dia sempatkan memalingkan wajah ke arahku. Senyum tersungging di bibirnya mencoba tetap menunjukkan keramahannya. Jurus agar pelanggan tetap berkunjung.
Sebenarnya, da anjun memiliki pegawai. Kesemuanya perempuan. Tugas da anjun justru melayani pelanggan. Meski demikian, sebagaimana yang kulihat pada siang ini, da anjun tetap turun tangan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain.
Kedai da anjun sebenarnya tidak terlalu besar, dan mewah. Sederhana saja. Ruangan berukuran delapan kali sepuluh meter dengan dinding papan dan atap daun rumbia, mengesankan kesederhanaan. Meski demikian, kedai da anjun ramai orang yang membeli sambal di kedai da anjun. Bahkan sudah ada pelanggan tetap, termasuk aku.
Racikan bumbu masakan di kedai da anjun membuat rasa sambalnya terasa khas. Sambal tomat andalannya. Selain itu, takaran yang diberikannya yang melebihi rata-rata, terasa begitu pas dengan lidah dan kantong mahasiswa tentunya. Masalah harga, tidak terlalu tidak membuat kantong mahasiswa berdebar-debar.
uda indak nio maha-maha bana, asal dapat pelanggan saja. Asal mahasiswa bisa makan, uda alah sanang,” jawabnya sewaktu aku menanyakan kenapa harga sambal disana selisih cukup besar dari kedai lain.
Aku sudah mendapatkan apa yang kupesan. Tapi aku tak langsung pulang. Ada keinginan bercakap-cakap dengan da anjun. Sambil melayani pembeli, da anjun menyempatkan untuk menjawab pertanyaanku.
indak pai ngajar, di?” Da anjun sering menanyakan ini kepadaku. Beliau tahu aku mengajar privat di kompleks dekat kampus unand.
beko siap maghrib da, pai nyo. Kan jadwalnya malam,” jawabku.
“Alhamdulillah, sudah ngajar ya. Lai ado pemasukan berarti, ardi. Sudah bisa kerja, hebat itu,” katanya memujiku.
Obrolan kami tidak bisa berlama-lama sebab pelanggan yang terus berdatangan. Hari-hari selanjutnya pun masih sama. Tak ada percakapan panjang yang bisa dilakukan. Meski begitu, lumayanlah. Setiap berkesempatan ke kedai, selalu ada obrolan. Seputar kampung, pekerjaan orang tua, kabar kuliah, dan lain-lain. Karena obrolan-obrolan itu, Da Anjun jadi peduli padaku. Beberapa kali aku didahulukan saat mengantri beli sambal disana. Melewati barisan mahasiswa lain yang sedang ngantri.
Kadang percakapan kami diisi dengan keluhan dariku. Seperti hari itu, aku mengeluhkan betapa letihnya aku sebab harus pulang malam dari mengajar.
“Lai masih ngajar, Ardi?
“Masih da. Tapi itulah, ambo ko agak payah dengan kendaraan. Terpaksa minjam-minjam motor orang Da,” keluhku sambil tangan memutar-mutar plastik berisi sambal.
Sejenak Da Anjun menghentikan aktivitasnya mengambil laukpauk untuk pelanggan. Sejurus dia menoleh kepadaku. Saat antrean semakin berkurang, dia kemudian menasehatiku,
“Ardi, sabarlah dulu. Lebih bagus awak sudah dapat pekerjaan, ngajar privat. Bagus itu. Indak semua orang yang bisa dapat kesempatan kayak gitu. Motor minjam pun sudah lumayan, ada yang bisa dipinjam. Banyak orang yang tidak bisa minjam honda. Indak dapat kepercayaan oranglain”.
Da Anjun selesai melayani pelanggannya. Kini dia penuh menghadap ke arahku.
Kan lai ado piti untuk ngisi bensin?”
Ado da”
“Ha, apalagi yang kurang?”
Kini ko, tarimo se dulu apo yang ado. Jalani saja, roda itu terus berputar. Saat ini kita di bawah, suatu saat kita akan di atas”.
Begitu bijak Da anjun menasehatiku siang itu. Panas suasana di siang hari terusir dengan sejuknya siraman bijak petuah Da Anjun.
“Meski hidup susah, jangan menyerah. Harus syukuri. Awak lai bisa makan tanpa kekurangan, itu sudah bagus. Lai ado piti untuk beli sambal, masih bisa makan. Sementara, banyak orang diluar sana yang tidak makan karena tidak ada yang mau dimakan”.
Kemudian, dia menghamburkan kalimat bijak yang menohokku,
“Bersyukurlah, masih ada motor yang bisa dipinjam. Masih bisa meminjam motor tandanya masih , sebab ada yang tidak bisa minjam motor karena tidak dipercaya, akhirnya hanya bisa jalan. Kalau untuk urusan dunia, jangan lihat ke atas, tapi ke bawah. Kita akan bersyukur jadinya. Oranglain pakai sepatu, kita pakai sandal harus tetap bersyukur. Sebab banya orang yang tidak pakai sandal, telanjang kaki. Kita telanjang kaki pun, harus bersyukur sebab masih bisa berjalan sementara, ada banyak orang yang tidak bisa jalan karena tidak punya kaki”.
Aku terhenyak demi mendengar penuturan bijak petuah Da Anjun. Kalimat itu keluar dari orang yang kesehariannya orang kedai sepertinya. Ah, namanya hikmah bisa saja keluar dari mana saja. bahkan aku tak sempat kepikiran hal seperti itu.
Sayangnya tak banyak waktu untuk bisa berbincang dengannya. Selain aku harus menyiapkan materi untuk mengajar nanti malam, beliau pun harus melayani pelanggan yang terus silih berganti berdatangan.
Tak lupa sebelum pulang, beliau menyisipkan dua perkedel yang dengan sedikit memaksa, dimasukkannya ke kantong plastic sambalku. Aku tak hendak menolaknya, tak ada doa tolak rezeki. Rezeki pantang ditolak. Adanya sambal ekstra seperti inilah, yang juga membuatku tak bosan untuk membeli sambal ke kedai Da Anjun.
Bagi mahasiswa sepertiku, meski sedikit saja tambahan sambal atau sayur gratis yang diberikan, begitu berharga. Dengan bungah menerimanya. Dan da Anjun tahu bahwa cara ini ampuh untuk memikat hati pelanggan. Aku pun jadi berat untuk berpaling ke lain kedai. Kecuali jika memang pulang cukup sore, dan memukan baskom-baskom serta tempayan tempat sambal Da Anjun melompong, tandas tanpa sisa.
Seperti yang terjadi pada minggu berikutnya. Karena harus mencari bahan untuk mengajar privat pada malam harinya, aku turun dari kampus saat hari mulai gelap. Dengan diliputi keraguan, aku melangkahkan kaki menuju kedai Da Anjun, berharap masih ada yang bisa kubawa pulang. Ternyata sesampainya disana, kudapati Da Anjun sedang membereskan baskom-baskom tempat sambal dan kemudian ditumpuknya. Pertanda isinya sudah berpindah ke pelanggan. Terpaksa, aku segera putar arah, menuju kedai lain.
Sayangnya, kondisi ini aku alami hingga beberapa hari lamanya. Masih dengan sebab yang sama; pulang kesorean. Kedai Da Anjun memang favorit mahasiswa. Selalu habis lebih awal daripada kedai lainnya. Disaat kedai lainnya sedang ramai-ramainya dengan pelanggan, kedai Da Anjun justru sedang beres-beres sebab sambalnya sudah habis.
Tidak pernah tidak habis, kecuali jika hari hujan. Usai shalat ashar, adalah waktu dimana pelanggan sedang ramai-ramainya. Menjelang pukul 05.00 sore, pertaruhan keberuntungan. Kalau sedang mujur, masih ada tersisa sambal yang bisa dibawa pulang. Kalau nasib sedang apes, alamat putar balik arah.
Akhirnya kerinduan lidahku untuk merasakan sambal Da Anjun terobati di hari selanjutnya. Lidahku sudah rindu dengan rasa khas sambal tomat masakan Da Anjun. Rupanya, tak hanya aku yang merasa kalau sudah lama tidak ketemu. Da Anjun pun merasakannya. Sesampainya di kedai, Da Anjun langsung menyemprotku.
Ondeh, Ardi… lah lamo indak kamari! Pantas se sambal uda indak habis. Rupanya karena Ardi ndak membeli lagi”
Aku tertawa kecil demi mendengar kelakar Da Anjun, masak iya berkurang satu pelanggan sepertiku, sambalnya tidak habis. Ada-ada saja. Pandai membuat pelanggan tidak enak hati jika tidak lagi datang.
“Justru dek habis itu da, awak ndak ka siko. Pas kesini, eh sudah habis” belaku.
“Masak iyo? Bilo Ardi kesini?”
“Ada da, dah beberapa hari ini. Memang sih, kesorean datangnya. Awak lihat dari jauh nampak uda sedang beresi tempat sambal, jadi pulang lagi … dah kehabisan”.
Ha, iyo tu. Makanyo, jangan pulang kesorean”.
Baa lai da, dari kampus pulangnya jam segitu”.
Aku kemudian menyebutkan pesanan sambalku. Ikan laut, telur dadar, dan sambal campur. Tiga menu ini untuk tiga waktu makan berturut-turut; makan siang yang sebentar lagi ku laksanakan, makan malam, dan makan pagi di esok harinya.
Setelah mendapatkan pesananku dan basa-basi sebentar menanyakan kabar kuliahku, da Anjun kembali menghadapi pelanggannya. Dengan segera aku memutarbalik arah menuju kos. Tak lupa, tambahan sambal dari Da Anjun telah terselip di plastik sambal dijinjingan tanganku.
Kebiasaan Da Anjun seperti ini selalu memberikan keyakinan bahwa masih ada orang baik di zaman modern seperti sekarang ini. Memang sudah jarang orang yang mau dengan tulus memberikan kebaikan kepada oranglain. Meskipun berupa kebaikan yang bentuknya remeh dan kecil. Seingatku, kedai sambal lain tidak ada yang berbuat layaknya Da Anjun. Belum pernah aku mendapatkan sambal ekstra dari penjual sambal, kecuali dari da anjun.
Heran dengan apa yang dilakukan oleh Da Anjun, pernah kutanyakan kepadanya suatu waktu. Kenapa dia mau berbuat demikian; memberi sambal ekstra kepada pelanggan. Tak hanya aku yang mendapat perlakuan baik ini, tapi beberapa mahasiswa pun mendapatkan hal yang demikian.
Iko se yang bisa uda lakukan, Ardi. Sebab hanya ini yang uda punya. Uda juga punya anak yang juga sedang merantau. Uda berharap dengan apa yang uda lakukan ke anak-anak sekitar sini, itu pula yang dialami oleh anak uda di rantau sana,” ucapnya sambil menerawang, kala itu.
Uda Anjun memiliki tiga orang anak. Si sulung sekolah di Man 2 Kotobaru Padang Panjang, si tengah masih sekolah dasar, dan si bungsu masih PAUD.
O, barulah aku tahu alasan kenapa da anjun mau berlaku demikian.
“Tapi uda tidak begitu mengharuskan ada balasan yang diterima anak uda. Uda insyaallah ikhlas kok,”
Aku mendengarnya tanpa suara. Tertegun aku demi mendengar apa yang diucapkannya. Keheningan sekejap menyelimuti kami. Suara gilingan cabe terdengar jelas.
Anggap see gaek Ardi disiko. Apalagi Ardi ‘kan ndak ada saudara disini,” ujarnya kemudian dengan tegas seraya memandangku menguatkan penegasannya.
Mendengarnya, ada keharuan menelusup di dalam hati. Da Anjun memintaku menganggapnya sebagai keluarga, agar biasa saja saat berkunjung ke rumahnya.
“Anggap saja rumah sendiri,” katanya.
Sejak saat itu sering aku disuruh mengambil sendiri sambal yang aku inginkan. Meski, tetap saja aku membayarnya walau dia menolaknya, sebab itu sudah menjadi haknya. Atau diwaktu lain, saat pekerja dan Da Anjun sedang sibuk, akulah yang dimintanya untuk melayani pelanggan. Disaat tidak ada jadwal mengajar pada malam harinya atau sedang tidak ada kuliah, aku menyempatkan diri ke kedai da Anjun, bahkan kadang seharian penuh disana. Melakukan pekerjaan semisal mengiris kol, menggiling bawang, memblender cabe, hingga mencuci baskom tak asing lagi kulakukan. Imbalannya, beberapa sambal gratis diselipkannya dengan paksa diplastikku.
**
Aku melangkah dalam sepinya malam yang beranjak larut. Sepulang dari warnet untuk mengirimkan tulisanku ke email siswa-siswa privatku. Malam mulai diselubungi sunyi. Beberapa warung sudah tutup. Dengan langkah gontai tak bertenaga aku menuju kos. Ada rasa berat membebani hatiku.
Satu anak tangga berhasil dilewati, anak tangga lain telah menanti untuk didaki, agar perjalanan semakin tinggi dan melihat hal lain yang sudah semestinya dirasakan. Kampus adalah salah satu bagian fase perjalanan hidup yang harus dijalani. Usai episode perjalanan di kampus, perjalanan ini harus dilanjutkan dengan rute dan kondisi jalan berikutnya. Selama empat tahun sepuluh bulan telah aku habiskan waktu di kampus untuk menuntut ilmu. Kini saatnya aku harus meninggalkan kampus dan merasai perjalanan hidup berikutnya. Selama itu, telah banyak kisah dan kenangan yang tercipta. Ada perih, dan ada haru. Beberapa diantaranya membekas indah.
Di ranah Minang ini memang aku tidak punya satu pun saudara. Makanya ketika ada orang yang meminta dijadikan saudara, apalagi sebagai orangtua, tentu senangnya bukan main. Bahagia, tapi juga sekaligus menyakitkan. Menimbulkan kepedihan kala harus berpisah dengannya. Aku harus pulang kampung, mengabdi pada daerah yang telah membesarkanku. Meninggalkan segala kenangan yang terukir di daerah dan orang-orang disini.
Perpisahan ini jelas mencipta rasa kehilangan yang mendalam. begitu juga perpisahan dengan Da Anjun, orang yang begitu baik kepadaku, yang memintaku untuk menjadikannya orang tua angkat. Selalu aku teringat nasehat-nasehatnya yang bernas. Kadang tak sebanding dengan pekerjaannya sehari-hari. Apa yang terucap dari lisannya, benar-benar membuktikan perhatian selayaknya orang tua. Karena itu, perpisahan jelas sesuatu yang menimbulkan kedukaan yang mendalam.
Hal ini membuatku ragu untuk mengucap pisah padanya. Tak ingin aku ada kata dan kenangan sedih dari perpisahan ini.
Karena itu, hingga saat bus yang membawaku kembali pulang ke kampung halamanku, dengan sengaja aku belum menemui Da Anjun untuk berpamitan. Aku tak sampai hati dengan perpisahan yang terjadi. Aku tak mau meninggalkan kesan sedih sebab perpisahan dengannya.
Aku takut akan ada air mata yang menetes saat mengucap perpisahan dengannya. Tak mau terlihat lemah dihadapannya dengan kesedihan yang tampak. Karena itu, aku memutuskan pulang dengan tidak berpamitan dengannya. Jelas aku akan kehilangan untaian-untaian mutiara nan menyejukkan hati. Tak akan ada lagi orang yang senantiasa memberikan perhatiannya kepadaku. Kesedihan ini, waktu jua yang akan mengobatinya.

Post a Comment for "Mutiara penjual sambal"