Di Bawah Langit Masih Ada Langit
Lima tahun lamanya aku mengenalnya, setidaknya rupanya. Tahun petama aku kuliah di Unand, sejak dulu aku mengamatinya, tapi tanpa rasa. Belum ada ketertarikan untuk mengenalnya lebih jauh. Setidaknya namanya. Tapi tidak ada ketertarikanku padanya bahkan untuk kenal nama, hingga lima tahun di negeri ranah minang ini belum jua ku tahu, sekedar namanya. Entah hati yang belum mau juga menangkap isyarat kepedulian. Dan waktu berlalu edngan; kenal tanpa tahu namanya.
Namun, akhir-akhir ini hasrat menggoda yntuk mau sedikit peduli kepadanya. Hati ini merasa untuk sekedar menoleh dan menyapa, dan bertaya nama. Ia pun manusia. Tak ada salahnya, sebentar bercakap dengannya. Menanyakan kabar dan aktivitasnya. Cukup itu saja, sebagai pendahuluan cukuplah.
Berulangkali menguatkan diri. Saat tebal rasanya keberanian di dalam sanubari, entah kenapa semangat yang telah membaja menguap kemana. Terkdang, seringkali aku bertanya pada diri kenapa beberapa keberanian menghilang bahkan untuk hal dan momen yang seharusnya tak kul ewatkan. Dan beberapa kali ku sadari bahwa ada yang kurang pada tatanan keberanian dalam diri. Pun pada kasus aku dan dia.
Padahal, bberapa momen aku dan dia dipertemukan. Baik sengaja atau tidak. Perjumpaan yang tiada sengaja, kadang menggodaku bahwa itu adalah sinyal-sinyal kesengajaan yang seharusnya dapat menjadi kemanfaatan pada pertemuan it. Nyatanya aku mash termangu dan jarak antara kami tetap terbentang. Kesibukan kuliah dan organisasi, alasan andalan untuk berlindung dibalik ketidakmampuan ku mendekatinya. Jadilah, aku tetap hany abisa memandangnya dari jauh. Dan diri ini tetap enggan hya sekedar menyapa meski ad ayang terasa didalam dada. Dan begitulah, setiap kali selalu melewatinya tetap saja aku menoleh ke arahnya. Kadang ku jumpai sempatlah dia menengok ke arahku (atau ke arah orang-orang disekitarku).
Hingga tersadar, jatah di kampus termegah di Asia Tenggara tinggal tiga bulan. Aku tersentak. Bagaimana mungkin aku mengingkari perasaan ini. Abaikan yang menjadi hasrat diri selama lima tahun. Tidak bisa tidak, sebelum habis jatah mencicipi atmosfer perkuliahan di unand, aku harus mengalahkan keegoan ini. Harus dipaksakan kaki ini melangkah ke arahna. Harus dikuatkan jemari ini terbuka dan tersusun untuk mengangsurkan jabat. Harus mampu untuk dibuka mulut ini untuk bisa bicara mengucap salam dan sapa. Sebelum semuanya terlambat dan aku tak dapatkan apa-apa.
Saat keberanian terkumpul dengan hebat, ku pilih hari dimana selalu ku dapati ia, setidaknya setiap kali ku melintasi jalan itu. Cukup lama aku mempersiapkan pertemuan itu, dari dandanan yang harus enak dipandang dan tak membersitkan curiga. Juga kata-kata yang akan ku katakana, dari sapa hingga basa-basi. Dari warming-up hingga closing. Beberapa kali aku latihan pengucapan di depan cermin, disertai mimik dan gerakan tubuh penunjang. Tapi kali ini, sengaja aku tak berlatih di depan makhluk bernyawa yang bisa berrbicara dan merasa (manusia). Sebab aku tak mau dipermalukan mereka dengan ejekan-ejekan “kayak kurang kerjaan kamu..” atau “dasar muka tebal” . atau kata-kata lain yang tetap senada “cari gara-gara kamu”.
The show must go on. Ku kuatkan diri dengan mengingat-ingat momen yang jauh lebih berat melakukannya dari pekerjaan ini dan menguras tenaga ekstra: mukhayam. Yang membuat tubuh ini lebih bergetar hebat : pidato di depan umum atau memberi ceramah di majelis ta’lim ibu-ibu. Dan nyatanya aku lumayan tenang, tidak gugup.
Berdarah-darah aku sudah pernah. Saat kelas 1 SMA terlibat tawuran antar sekolah, dan nyatanya aku masih hidup. Lalu kenapa untuk perkenalan-sapa-basabasi-sedikit percandaan-dengar cerita- kepadanya aku tak berani? Percayalah…. Tak menguras banyak tanaga layaknya mendaki gunung, tak membuat gemetar seperti memberi ceramah, tak akan berdarah darah mengulang tawuran masa SMA.
Pidato di depan umum pun sudah dilakukan. Pidato di hadapan para orang tua saat perpisahan SMA, adalah bukti konkrit kemampuan manajemen emosi. Memberi ceramah pada taklim ibu-ibu. Jelas, disana membutuhkan keberanian dan ketenangan sikap. Nyatanya aku bisa.
Segala macam cara menenangkan diri ku lakukan, hanya obat penenang saja cara yang tak ku lakukan. Tekad membaja, seiring persiapan telah matang dilakukan. Waktu itu pun tiba, pagi sekali di hari senin pada saat matahri sepenggalah, aku melangkah keluar wisma dengan pasti, menuju arah yang direncanakan. Senagaja pada waktu itu, karena biasanya pada waktu itu dia rehat. Dengan berniat apa yang ku lakukan semoga menjadi ibadah, aku melangkah dengan pasti.
Saat dhuha menyapa, bergegas aku keluar dengan langkah pasti. Semua persiapan telah dilakukan. Tak perlu aku menimbang berani atau tidak, jadi atau tidaknya. Sudah bulat tekadku. Tahu-tahu aku sudah berada di simpang Pasar Baru. Ku pilih bus kota yang paling siap untuk berangkat; sudah maju mundur mengimingi penumpang bahwa dia yang akan berangkat secepatnya.
Cukup lima menit menghabiskan waktu duduk di bus kota. Kencangnya bus kota memang sebanding dengan kencangnya musik yang distel. Untuk kali ini, aku tak mempersoalkan kencangnya laju bus. Padahal biasanya, minimal menggerutu di dalam hati. Kencangnya laju bus yang acapkali membahayakan penumpangnya.
Kini, aku telah ditempat dimana sering ia beroperasi. Simpang by pass kampus. Sekitar 1 km dari kampus Unand limau Manis ke arah bawah. Seperti biasa, ia terlihat dengan kotak amal warna hijau, celana goyang, peci hitam, baju kumal, sendal jepit. Tubuh tambunnya mudah saja terdeteksi dari lalu lalang kendaraan. Jarak aku dan dia hanya sekitar 20 meter. Aku menunggunya istirahat yang ku duga sekitar 10 menit lagi. Benar saja, lewat dua menit dari perkiraan ku, ia kini mengarah ke masjid di dekat simpang by pass, sekitar 50 m ke arah kampus. Masjid Darul Falah namanya.
Aku menguntitnya dengan menjaga jarak sekitar delapan meter darinya. Saat ku pastikan ia sudah nyaman dengan posisi istirahatnya, membuka bekal makan siangnya lalu ku hampiri dia. Cukup sebentar terkejutnya saat melihatku menghampirinya. Tak ada reaksinya lari atau meninggalkanku, tak ada juga roman akan mencercaku karena terusik. Malahan, dengan tenang ia menyambutku.
“Kamu wartawan kan,..” tebaknya. Tekanannya lebih menegaskan itu sebuah pernyataan daripada pertanyaan.
Takjubku ku simpang dalam hati, agar suasana tetap santai.
“Hehe...” aku hanya tertawa kecil. “Aku cuma mau kenalan sama kamu” kataku.
“Lebih juga boleh..”
“Makasih kalau boleh lebih. Sudah berapa lama melakukan ini? Eh..namaku Adi”
“Yossa. Delapan tahun” katanya ringkas.
Dan kembali ku simpan, keterkejutanku. Dengan santai dibumbui kelakar, ku bertanya padanya
“Sudah lama ya..sudah dapat apa?”
Sepertinya dia sudah mempersiapkan semuanya. Dengan lancar dia menjawab.
“Cukuplah... untuk makan sehari-hari dan juga sisanya ditabung”
Aku pura-pura terkejut. “Ditabung gimana bang? Bukannya itu kotak amal masjid mana gitu..?”
“Nggak lah..ini kotak amal saya”
“Lho?”
“Iya...jadi kalau kalian nyumbang atau berinfak...itu untukku”
“Ha..? Jadi..? aduh maksudnya apa bang? Padahal kami kira, kalau kami nyumbang maka itu untuk masjid mana gitu. Kan pake kotak amal, mas..?
“Emang ada tulisannya? Nih lihat”
Berlagak heran aku mendekati kotak yang diangsurkannya padaku. Dan memang, tak ada tulisan masjid dimananya. Aku menduga, bukan kali pertama ini ia didekati wartwan atau sejenisnya. Lantaran ketenangannya menghadapi ku. Jawabannya pun sedemikian santai ia berikan.
“Perlu mas ketahui. Saya tidak berbohong lho.. Kan saya mengangkat kotak amal ke orang-orang. Saya tidak pernah mengatakan misalnya “Pak tolong infaknya untuk masjid...” Tidak ada. Saya Cuma angkat kotak amal saja, dan mereka mengisinya. Kotak itu milik saya, jadi infaknya pun milik saya”
Jujur, aku sebenarnya terperangah taraf akut. Namun mulut tidak sampai menganga. Cukup terdiam beberapa saat. Sementara dia masih cengengesan. Waktu seolah berjalan melambat. Untungnya, telinga ini masih berfungsi mendengarnya melanjutkan omongannya.
“Begini Mas... mas harus yakin, tidak ada yang berniat dan rela dengan profesi ini. Tapi gimana lagi mas... mau kerja, siapa yang menerima orang yang tidak punya keahlian atau pendidikan. SD aja nggak tamat”
Perlahan kesadaranku mulai bangkit.
“Ah masak iya bang..kerja apa saja nggak ada...Lagian halal kan...”
“Menurutku, pekerjaan ku ini halal lho... seperti alasanku yang tadi”
Aku tak berkutik dibuatnya. Dan memang aku bukan bermaksud mendebatnya. Hanya menggali lebih dalam, tentang ia dan profesinya.
“Apa abang nggak cemas, ada peraturan di Padang ini yan melarang pengemis lho..”
“Ah.. dimana otak pemimpin Padang ini. Kalau mereka bisa menjamin pekerjaan bagi orang-orang seperti kami, baru mereka boleh melarang kami”
Aku manggut-manggut dibuatnya. “Eh bang.. berapa penghasilan per hari ? boleh tahu dong...”
“Nggak pasti mas...kadang-kadang bisa mencapai seratus ribu, tapi bisa juga kurang dari dua puluh ribu. Hari ini, mungkin baru dapat empat puluh ribuan” seraya menoleh ke kotak menampung sumbangan miliknya.
“Pernah mendapat sumbangan tertinggi berapa bang?”
Sedikit berpikir dia, mencoba mengingat-ingat.
“Hmm..biasanya di bulan puasa mas. Meski pesaing semakin banyak di bulan puasa, orang juga semakin dermawan di bulan itu mas. Pernah sehari dapat Rp. 700 an. Lumayan untuk bekal lebaran mas”
“Wuih...lumayan tu bang. Kalau dibuat rata-rata berapa per hari atau perbulan bang?”
“Sehari ya dapat Rp. 100-an lah”
Dengan jelas, aku menghitung pendapatannya sebulan di hadapannya, dengan menggunakan jari-jariku.
“Sehari Rp. 100 ribu. Kalau sebulan jadinya Rp. 3 juta...wah...gede bang. Itu gaji PNS lebih lagi bang”?
“Resikonya juga besar mas. Kena panas, asap motor, sampai terserempet kendaraan”.
“Kira-kira, abang akan melakukan ini sampai kapan bang? Umur abang sudah berapa?”
Kali ini ia yang ku buat termenung. Pandangannya menerawang.
“Huff... sekali lagi, tidak ada yang berniat dan suka dengan pekerjaan ini mas, umur saya sudah 26 tahun. Saya nelum juga menikah. Entah ada yang mau atau tidak. Tapi tentu saja, saya menginginkan perubahan dalam hidup saya, tidak mau jadi begini terus. Makanya, dari hasil per hari saya, selalu disisihkan untuk ditabung”
“Bener tu mas...saya dukung”
Dari masjid dekat kami berbincang sudah berkumandang tilawah dari loudspeker yang distel garin. Kami tetap melanjutka obrolan, sembari ia menyantap makan siangnya. Dari pembicaraan kami, baru ku tahu kalau dia hidup bersama neneknya. Biaya hidup mereka dari pekerjaan yang dilakoninya.
Kadang disertai pertanyaan untuk ku. Mengenai perkuliahan, asal, suku dan pekerjaan. Terutama untuk apa aku bertanya kepadanya, wawancara yang dilakukan padanya untuk apa.
Aku meyakinkan bahwa pembicaraan itu khusus untuk ku saja, dan tidak untuk ku sebarkan. Herannya, dia malah mempersilakan kalau seandainya dimasukkan ke surat kabar. Kembali aku dibuat heran olehnya. Ah...banyak hal dan kejadian di dunia ini yang tidak bisa dimengerti oleh keumuman.
Kami berpisah saat adzan berkumandang. Aku segera memasuki masjdi dan ia tetap ditempat, menurunkan nasi di perut, katanya. Aku pamit dengan mengucapkan terimakasih dan berjabat tangannya. Entah kenapa, agak berat langkahku meninggalkannya. Masih terngiang dan terekam hampir satu jam lamanya kebersamaan ku dengannya. Menimbulkan bekas;keheranan, takjub, ketakmengertian, kasihan dan kelucuan. Bercampur jadi satu. Saat berwudhu, ku rasakan ada beban yang terasa menghilang. Membuat perasaan hatiku terasa lapang. Karena disaat itu juga, bias-bias kesyukuran semakin jelas.
Openingnya bener2 bikin penasaran kayak mau nembak seorg gadis... Dikira kisah perjalan cinta mba Tantri Dg mas padil... Ternyata....
ReplyDeleteHehe... Ternyata ya
Delete