Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

[No title]

#1 Masalah Kilafiyah

Meski ana yakin dengan betapa seniornya seseorang, dan ana yakin kepahaman lebih pada beliau, rupanya pada sore ini ana dibuat terkejut. Berawal dari voting untuk menentukan ketum Himafi yang sebelumnya diadakan musyawarah, ternyata beliau memilih abstain, atau golput. Alasannya masih sama dengan alasan klasik yang selama ini ditemui bahwasanya pemilu bukanlah cara baik untuk memilih suatu keputusan. Memang, benar. Syuro diutamakan. Permasalahannya jika kondisilah yang membuat kita tak punya pilihan lain lagi, dan yang disepakati adalah voting. Yang lain juga setuju dan disepakati forum.
Disinilah betapa pentingnya kita ikuti tahap dan system yang ada (disepakati). Kalau yang ada voting, lalu apakah karena kita tidak suka dengan system itu maka kita abstain? Apalagi jika dalam calon tersebut ada yang dari amah. Ok lah jika sudah bisa diprediksi calon kita yang menang. Kalau justru kandidat dari ammah yang kuat? Dijamin selama setahun kemudian, kita akan bekerja lebih keras dalam mengejawantahkan pesan dakwah kita.
Belum lagi kita harus memasukkan dakwah kita kepada beliau yang terpilih. Mengkondisikan beliau yang terpilih agar sejalan dengan langkah kita. Atau jika kita membayangkan kemungkinan buruk, ternyata yang amah tadi justru merusak tatanan dakwah yang sudah dirintis, mengaburkan visualisasi musyarakah dakwah yang kita rancang, maka beraa banyak energi (lagi) yang kita butuh dan habiskan untuk semua impian kita.
Meski sudah beberapa argument dan contoh serta kemungkinan yang ana contohkan, bahkan sepertinya kami sedang berdebat, maka kami diingatkan oleh ikhwah lain. Jujur, ana kurang yakin dengan kondisi ikhwah tersebut. Maksud ana, ana mengira ikhwah tersebut bagarah dan ini ngetes kemampuan ana dalam melobi, makanya ana ladeni. Insya Allah ana yakin ikhwah itu sedang ngetes dan ngecek kemampuan melobi ana. Maka ini ana jadikan ini latihan, jika sewaktu-waktu ketemu dan berhadapan dengan problem/kondisi yang sesungguhnya di masyarakat kelak. Akhirnya ada ikhwah yang mengingatkan; cabang ukhuwah yang paling rendah adalah berlapang dada. Setelah ana rasa ini bukan bagarah, ana diam juga.
Namun kejadian tadi sore membuatlah ana meyakini, setidaknya mengingatkan tentang pernyataan;’ ada banyak orang yang bersama kita, tapi ternyata mereka bukanlah bagian dari kita, dan ada banyak yang tidak bersama dari kita ternyata bagian dari kita’.
.: meskipun seseorang dipandang lebih paham dan senior dalam kafa’ah dari kita, perlu pembuktian, apakah sudah dalam perealisasian kedalaman kafa’ah ikhwah. Ana berlindung kepada Allah dari merasa lebih baik dari ikhwah tersebut. Dia lebih tua dari ana, maka sudah lebih dakwah dan amalnya daripada ana yang belum melakukan apa-apa dengan dakwah ini:. Alhamdulillah, tak sampai berlarut, kami kembali tersenyum dan berjabat tangan. Insya Allah, ikhwah,,,thanks for our conversation.



Post a Comment for " "